Wo Xian Ai Ni




 Wo Xian Ai Ni
(Aku Lebih Dahulu Mencintaimu)
(I Love You First)


Pierre duduk dengan tegang. Ia bisa merasakan keringat dingin membasahi telapak tangannya, bahkan pelipisnya mengucurkan keringat. Jantungnya berdebar, debarannya senada dengan sepatunya yang diketuk-ketukkan ke lantai. Duduknya gelisah, tidak dapat menemukan posisi yang pas, berulang kali ia membenarkan posisi duduknya di salah satu kursi di antara deretan kursi di sepanjang koridor rumah sakit, mencoba untuk menenangkan dirinya. Orang-orang yang lalu lalang tak ia hiraukan, pikirannya terlalu kalut untuk memberikan sedikit perhatian kepada orang-orang berjas putih atau berpakaian suster yang lewat dengan tergesa di depannya.
Kira-kira tiga setengah jam yang lalu, di saat ia sedang berada di toko perhiasan miliknya, ia menerima sebuah telepon yang memberikannya kabar buruk. Baru saja ia merancang cincin indah, yang kini desainnya masih lekat di dalam memorinya, ketika berita buruk itu disampaikan padanya. Ketika mendengarnya, ia langsung menuju rumah sakit ini.
Seorang dokter memakai baju operasi berwarna hijau gelap keluar dari ruang operasi, tidak jauh dari tempat Pierre duduk. Dari wajah dokter yang baru saja melepas maskernya itu, Pierre sudah bisa menebak apa yang akan ia dengar.
Pierre sadar ketika kakinya melangkah mendekati dokter itu, ia juga masih ingat perkataan pria setengah baya tersebut, dan entah mengapa ia hanya bisa termangu ketika mendengar pernyataan dari dokter itu. Ya, pernyataan. Bukan pertanyaan, dugaan, atau perkiraan. Pernyataan. Nyata.
”Lebih baik….kita bicara di ruangan saya. Anda bisa ikut dengan saya sekarang.” Ajak dokter itu. Ia berjalan di depan Pierre.
Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Kepalanya pusing, seperti ruangan tempatnya berada berputar-putar.
Akhirnya, Pierre bisa merasakan dirinya duduk di hadapan si dokter, dengan keadaan tidak terlalu sadar. Ia masih terkejut, syok.
Dokter itu melepaskan kacamatanya. Ia menatap Pierre prihatin.
”Saya tidak bisa menyelamatkan saudara Anda, maaf.” Ia menghela napas, ”Saya tahu ini berat untuk didengar. Tapi keadaannya sudah parah sekali ketika sampai di sini. Pendarahan di otaknya tidak dapat disembuhkan, darah yang terkuras sudah banyak….jantungnya melemah. Operasi pun hanya bisa mempertahankannya selama beberapa menit tadi.”
Pierre tak mencerna keseluruhan informasi medis mengenai kakaknya itu. Kakaknya, ya, yang kini telah tiada.
Lalu…kalau kakaknya kini…Axel, telah tiada…bagaimana dengan…
Pierre mengumpulkan tenaganya untuk bertanya, ”Ba…bagaimana dengan yang satunya? Kekasih kakak saya? Pe…Pevita?” Ia tergagap. Satu sisi ingin cepat mendengar jawaban atas pertanyaannya, dan di satu sisi ia takut untuk mendengarnya.
”Ia masih dioperasi oleh rekan saya. Operasinya akan selesai setengah jam lagi, sepertinya. Saya akan segera mengurus kakak Anda, tenang saja. Saya turut berduka,”
Sulit untuk memercayai orang yang pernah ada di dalam kehidupanmu dan sangat kau sayang sudah tidak ada. Sulit. Tapi itulah kenyataannya, yang harus diterima oleh Pierre kini. Bagaimana ia harus mengatakan hal ini kepada keluarganya? Kepada ibunya yang selalu mengagung-agungkan kakaknya? Kepada ayahnya yang sangat bangga dengan kakaknya? Kepada…kepada Pevita yang jelas-jelas sangat mencintai Axel?
Entah apakah ia siap atau tidak untuk memberitahu mereka tentang kematian Axel.
Dan waktu itu tiba dengan cepat tanpa ia duga. Ayah dan ibunya datang, beserta kedua orang tua Pevita. Dengan terpaksa, amat terpaksa, ia memberitahukan bahwa Axel telah tiada.
Ya, seperti dugaannya, ibunya menangis keras-bahkan hampir pingsan. Ayahnya terkejut sekali, saking terkejutnya Pierre bisa melihat bahwa ia limbung. Semua terkejut. Semua syok. Semua terjadi begitu cepat.
Sampai, dokter yang menangani operasi Pevita keluar dari ruangan. Ia mengatakan bahwa Pevita baik-baik saja dan lukanya tidak berat. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Hanya saja, ada satu kabar buruk yang ia sampaikan.
Kabar buruk yang mengubah segalanya. Dan Pierre tahu, ia akan semakin terbebani dengan kenyataan yang ia dengar dari dokter tentang Pevita.
Pevita kehilangan penglihatannya.
Ibu Pevita limbung, untung saja ada ayahnya yang memapah. Sedangkan kedua orang tuanya pergi entah kemana untuk melihat anak mereka yang kini sudah tidak bernyawa.
Pierre, memilih untuk melihat Pevita. Ia merasa memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan berita duka Axel kepada gadis itu. Tapi tidak sekarang, gadis itu pasti sudah syok ketika menyadari ia kehilangan penglihatannya.
Ketika dokter membuka balutan perban putih yang melingkari kepala dan menutupi mata Pevita, Pierre menahan napas. Dari sudut matanya ia melihat ibu Pevita tidak mau melihat dan menyembunyikan wajahnya di pelukan suaminya. Sedangkan suaminya, berusaha untuk terlihat tegar-walau ia tahu putrinya tidak akan bisa melihat raut wajahnya yang memaksakan kesan tegar itu.
Pevita menangis, ya tentu. Ia berteriak kencang, bahkan harus ditahan oleh dua orang suster agar ia tidak kelepasan. Ia sangat terkejut, bahkan Pierre menahan tangisnya. Ia harus menerima dua kenyataan pahit hari ini, yang takkan pernah ia duga akan mengubah hidupnya selamanya.
Hatinya sakit melihat Pevita tersiksa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana ia harus mengatakan pada Pevita tentang kematian Axel?

****

”Kita tidak bisa mengatakan pada Pevita kalau Axel sudah tidak ada.” Tutur ibu Pevita, Tante Tantri. Ia habis menangis, matanya sembab. Ia dan suaminya, Pierre dan kedua orang tuanya, berkumpul di kafetaria ketika Pevita sudah berhasil diberikan obat penenang hingga terlelap. Sedangkan, ibu Pierre masih meneteskan air mata dan berulang kali mengusap air mata itu dengan tisunya yang sudah basah. Tubuh Axel kini sedang dipersiapkan untuk dimakamkan, Pierre masih tidak mengerti. Orang tuanya yang mengurus hal itu.
”Lalu, kita harus apa?” isak Ibu Pierre, Ketrin. ”Lambat laun ia akan tahu kalau putraku sudah meninggal…” Ia menangis lagi. Ayah Pierre langsung memeluknya kembali.
”Pierre,” panggil Tante Tantri. Beliau meraih tangan Pierre dan menggenggamnya, ”kamu adalah saudara kembar Axel. Kalian tidak kembar identik, memang….tapi dari dulu kamu selalu hampir menyamai kakakmu. Suaramu…suaramu mirip sekali dengan Axel.”
Pierre tidak mengerti arah pembicaraan Tante Tantri.
”Bi…bisakah…” Tante Tantri menelan ludah, ”kamu berpura-pura menjadi Axel? Tante tahu…sangat jahat ketika tante harus bilang kalau Pevita tidak bisa melihat kini. Ia tidak akan tahu kalau kamu berpura-pura sebagai Axel, kan? Suaramu mirip sekali dengan Axel, tante yakin Pevita takkan curiga.”
”Tentu saja ia tahu, Tante!” Pierre menolak dengan cepat, ”Aku tidak mau berpura-pura sebagai Axel di depan Pevita! Ketika ia tahu nanti, ia akan lebih sakit hati dan syok ketika mengetahui selama ini Axel sudah meninggal dan aku berpura-pura menjadi Axel!”
Tante Tantri menangis, ”Kematian Axel hanya akan menambah bebannya, Pierre. Tidak cukupkah ia dibebani kenyataan bahwa ia tidak lagi dapat melihat? Apa kamu melihat Pevita semakin tersiksa?”
Pierre terdiam.
”Lakukanlah,”
Pierre tercekat. Ia menoleh ke sumber suara, ke ibunya. Ibunya mengusap hidungnya yang memerah akibat menangis, dengan tisu.
”Lakukan semua itu. Demi Pevita. Aku yakin itu yang diinginkan oleh Axel. Ia pasti tidak mau tunangannya menderita.”
Tunangan, batin Pierre pahit.
Pierre tak menyangka ibunya akan menyuruhnya untuk melakukan hal ini. Jelas ibunya tahu bagaimana perasaannya terhadap Pevita! Seharusnya ia tahu, kalau ibunya dari dulu memang lebih menyayangi kakaknya. Apa pun itu, dilakukan untuk kakaknya-bahkan ia tidak peduli kalau harus mengorbankan kepentingan anak keduanya.
Tetapi, ia melakukan semua ini bukan untuk ibunya. Bukan untuk Axel.
Ia melakukan semua ini demi Pevita. Ia mengorbankan perasaannya, untuk Pevita. Gadis yang dicintainya.
****
”Mencari donor mata itu susah sekali.” Dokter Salim berkata. Ia mengusap dahinya, ”Apalagi….tidak hanya Pevita yang membutuhkan donor mata saat ini. Ia harus mengantri.”
Pierre tersandar lemas di sandaran kursinya. Tidak ada harapan lagi agar Pevita bisa sembuh dan kembali melihat.
”Tapi, masih ada harapan.” Dokter Salim menegakkan badannya. ”Sebenarnya, Pevita tidak benar-benar buta. Penglihatannya hanyalah buram saja. Buram sekali, tapi.”
Dalam hati Pierre cemas. Bagiamana jika Pevita dapat mengenali dirinya bukanlah Axel? Tapi untung saja bentuk tubuh dan wajahnya mirip dengan Axel, jelas saja. Ia adalah kembaran Axel.
”Apakah Anda tahu  kalau di China, di Beijing, ada salah satu rumah sakit yang terkenal dengan dokter mata ahlinya? Ia adalah teman saya sewaktu kuliah dulu, saya bisa meminta bantuannya untuk menyembuhkan penyakit mata Pevita. Mudah-mudahan saja Pevita bisa sembuh. Anda tentu tahu kalau China adalah master pengobatan, bukan?”
Pierre mengangguk. Secercah harapan mencuat dari dalam dadanya. Apakah itu artinya ada peluang bagi Pevita untuk bisa sembuh dan melihat kembali?
”Tapi, itu berarti Anda harus pergi ke Beijing. Bagaimana? Apakah Anda dapat menyanggupinya?”
Pierre dengan cepat mengangguk. Apapun itu, akan ia lakukan agar Pevita bisa mendapatkan penglihatannya kembali. Ya, apapun.

****
Cina adalah negara yang terkenal dengan obat tradisionalnya yang ampuh dan cepat menyembuhkan segala penyakit, hampir seluruh dunia telah mengetahui itu. Namun, Pierre meragukan apakah berobat di Cina menjadi pilihan yang tepat untuk Pevita. Tapi, tidak ada salahnya mencoba.
Beijing Hospital of Traditional Chinese Medicine adalah rumah sakit terbesar di seluruh Cina. Rumah sakit ini memiliki pelayanan dan fasilitas yang sangat bagus, tidak heran rumah sakit dengan gedung mewah dan megah ini mendapatkan peringkat baik di antara banyak rumah sakit di seluruh dunia. Hanya saja, berobat di sini mahal.
Namun, Pierre menyanggupinya.
Ia berangkat berdua saja dengan Pevita, yang masih mengira dirinya adalah Axel. Pierre awalnya takut dan cemas apabila Pevita langsung tahu kalau dirinya adalah Axel, tapi untungnya saja tidak. Perawakannya memang mirip dengan Axel, suaranya juga. Jadi, ia masih bisa berpura-pura menjadi Axel dan memikirkan bagaimana caranya agar ia bisa memberitahukan Pevita bahwa Axel sebenarnya telah meninggal. Ia masih memiliki waktu sampai Pevita bisa melihat kembali.
Pierre dan Pevita tinggal di apartemen tak jauh dari rumah sakit, dan ia mengantar Pevita untuk check-up rutin seminggu tiga kali. Semua berjalan lancar. Lancar, sampai Pevita perlahan mulai buka mulut. Selama ini ia lebih banyak diam, tidak banyak bicara, mungkin karena masih syok.
Pierre mengajaknya pergi ke Danau Shichahai. Danau ini adalah danau buatan, namun masyarakat sekitar sangatlah senang menghabiskan waktu berekreasi di sana, untuk sekadar memancing, jalan-jalan, atau mungkin menikmati pemandangan danau dan pepohonannya yang indah. Airnya biru, dan dari salah satu sisi danau kita dapat melihat ke sisi lainnya, terhampar pemandangan yang indah-menawarkan pemandangan gedung-gedung tinggi beriringan dengan pepohonan berbunga yang sangatlah memikat hati.
”Seandainya aku bisa melihat bagaimana pemandangan di sini…” gumam Pevita pelan, hampir tidak terdengar. Ia memakai kacamata hitam agar matanya tidak tersilaukan oleh sinar matahari.
Angin berhembus menerpa rambutnya yang ikal dan panjang.
”Sebentar lagi kamu sembuh. Aku akan mengajakmu ke sini lagi.” Jawab Pierre. Ia tulus dengan kata-katanya barusan. Ditatapnya Pevita yang kini duduk di sebelahnya, mengangkat wajahnya dan tampak berusaha untuk menikmati terpaan angin-mungkin ia sedang mencoba untuk membayangkan seperti apa pemandangan di depannya.
Menjadi buta pasti membuatnya sangat syok dan sedih, ia pasti sangat terpukul, batin Pierre prihatin dalam hati.
”Axel,” Panggil Pevita pelan, setelah keheningan mengisi selama beberapa saat.
Pierre dengan cepat berdeham, menandakan ia masih di sini.
”apa kamu benar-benar masih ada di sampingku?” tanya Pevita.
Pierre terhenyak, ia larut dalam diam. Lama sudah terbersit di pikirannya untuk mengatakan pada Pevita yang sebenarnya.
”Aku di sini.” Jawab Pierre pelan. Membohongi Pevita sama saja dengan menambah rasa sakit di hati gadis itu. Menyakiti hatinya juga.
”Mengapa aku merasa berbeda semenjak kecelakaan itu? Mengapa aku merasa semua takkan lagi sama?” Pevita meraba dadanya, ”Mengapa aku merasa….di sini kosong?” Ia menunjuk hatinya.
Walau ia bisa menjadi Axel, walau ia bisa membohongi dan menipu Pevita, tapi hati nurani Pevita tidak mudah dibohongi.
”Aku merasa sedih. Tapi….aku tidak tahu kenapa. Aku merasa sangat galau. Seperti ada bagian dari diriku yang menghilang.” Pevita menoleh ke arah Pierre.
Pierre tercekat. Seolah dari balik kacamata hitamnya itu, Pevita sedang menatap kedua matanya dalam-dalam, mengujinya apakah ia akan lebih lanjut berbohong atau tidak.
Tapi ia memilih untuk melanjutkan semuanya.
Pierre meraih tangan Pevita dan menggenggamnya kuat, ”Tidak akan ada yang bisa melukai hatimu, Pevita. Apa pun itu yang membuatmu sedih, aku akan mengenyahkannya. Kamu harus sembuh, kamu masih memiliki hidup yang panjang.”
Pevita tersenyum kecil, lalu mengangguk. Ia kemudian mendekatkan dirinya ke Pierre, lalu menyandarkan kepalanya kepada bahu Pierre.
”Seingatku…bahumu tidak seempuk ini. Kamu gendutan, ya? Bahumu empuk sekali untuk dijadikan sandaran.” Pevita terkikik.
Pierre tersenyum, namun hatinya mencelos.
Selepas menikmati pemandangan sunset di danau, Pierre mengajak Pevita untuk kembali pulang. Ketika dalam perjalanan pulang, ada banyak pedagang yang menjual beragam suvenir. Seperti gelang, kalung, atau batu giok.
Pierre berhenti di salah satu tempat jualan yang menjual kalung indah.
Ni yao mai shenme?”  tanya si pedagang kalung dengan senyum.
Zhe shi duoshao qian?”2 Pierre menunjuk sebuah kalung dengan bandul berlian merah muda dan sebuah gelang yang menyerupai bracelet, dengan bandul-bandul burung dara menggantung di rantai gelangnya.
Ni shi yinni ren ma?”3 tanya si pedagang.
Hen dui.”4
Hao! Wo gei ni san shi wan dun, zenmeyang?”5
Tai gui le! Pianyi yidianr ba!” 6 Pierre berusaha menawar harga yang mahal tersebut.
Bu shi! Zhe shi hen piaoliang! Wo zhidao, ta hen xihuan!”7 Tampaknya si pedagang itu tahu kalau Pierre membelikan kalung itu untuk Pevita.
Tanpa mau berbasa-basi lagi, atau menawar, Pierre memberikan uang kepadanya.
Selepas membeli kalung-tidak sepengetahuan Pevita-Pierre mengajak Pevita untuk makan di kedai terbuka sambil menikmati sebuah band yang kebetulan sedang bernyanyi di dekat kedai tersebut.
Nimen yao chi shenme?”8 seorang pelayan kedai datang menghampiri.
Pierre menatap Pevita, ”Kamu mau makan apa?”
”Kamu kan tau aku sukanya apa. Aku lagi pengen makan itu.”
Pierre terdiam sebentar.
Kemudian, ia tersenyum pada si pelayan yang sudah siap memegang kertas pencatat.
Wo yao chi kaoniurou.”9 Pierre menunjuk gambar sapi panggang di menu.
La de haishi tian de?”10 Si pelayan mencatat.
La de.”11
He shenme ne?”12
Kuangquanshui.” Kini Pierre memesan untuk Pevita, ”Ta yao chi kaoji, bu la de. Ta bu xihuan la de. He shenme ne? Em….caomei guozhi.”13
Si pelayan mengangguk mengerti, ”Yi pan kaoniurou, yi pan kaoji, liang pan shala, yi bei kuangquanshui, yi bei caomei guoshi. Hen dui ma?”14  si pelayan menatap Pierre setelah selesai mengulang pesanannya.
Hen dui, fuwuyuan…”15
Si pelayan segera tahu arah pembicaraan Pierre, ”Qing deng yihuir, mashang lai.” 16
”Aku nggak tau kamu pinter bahasa mandarin.” Pevita tertawa kecil. ”Kamu pesenin apa buat aku?”
”Kesukaan kamu. Ayam panggang plus salad, sama jus stroberi.”
”Kamu udah hafal banget sama kesukaan aku, awas aja salah!” Pevita tertentu.
Pierre menjawab dalam hati, tentu saja ia tahu….
 
****

Alunan musik dari band yang ballad menjadikan suasana terasa romantis. Apalagi, Pierre memilih tempat duduk dekat dengan danau. Jadi, ditambah dengan pemandangan yang indah, ia sangat bahagia menghabiskan waktu bersama Pevita. Walau sebagai Axel.
Mereka memasak bersama, walau penglihatan Pevita masih belum pulih benar, namun semua terasa menyenangkan. Kadang mereka juga berjalan-jalan di taman Xiangshan. Dari taman seluas 400 hektar tersebut, Pierre bisa melihat pemandangan kota Beijing. Ia juga mendeskripsikan seperti apa pemandangan di atas sana kepada Pevita, yang tidak dapat melihatnya. Pierre bahkan mengambil foto dirinya dengan Pevita beserta pemandangannya juga, agar Pevita bisa melihatnya nanti kalau matanya sudah bisa melihat kembali.
Semua terasa menyenangkan. Pierre tidak pernah merasa sebahagia ini. Ia bisa sedekat ini dengan Pevita….seperti mimpinya dulu yang selalu ia bayangkan, yang selalu tidak pernah bisa ia lakukan.
”Kenapa aku merasa berbeda, ya, belakangan ini? Semenjak pergi ke Beijing, semenjak tinggal di sini.” Kata Pevita saat ia duduk bersama dengan Pierre di sofa ruang santai apartemen. ”Aku merasa lebih bahagia.”
Pierre tersenyum. Dalam hati ia juga merasakan hal yang sama.
”Axel,” Panggil Pevita, ”aku merasa tidak apa kalau harus buta seumur hidup.”
Pierre terdiam.
”Aku menerima apa yang Tuhan takdirkan untukku.”
”Masih ada kesempatan, kok. Kita kan belum tahu bagaimana akhirnya. Tapi, aku senang kamu bisa menerima kenyataannya.”
Lagu Bach yang merdu melantun dari speaker mp3 player. Menggantikan keheningan yang mengisi.
”Apa kamu merasakan yang sama?” tanya Pevita. Ia kini menyandarkan kepalanya ke bahu Pierre.
”Ya.” Jawabnya pelan.
Pevita tersenyum, ”Axel…”
”Hem?” Pierre takut lama-lama ia akan mengira dirinya bernama Axel.
”Aku ingin menikah.” Gumam Pevita dengan mata terpejam. ”Aku ingin menikah dengan dirimu yang sekarang.”
Pierre terhenyak. Hatinya nyeri mendengar permintaan Pevita. Siapa yang sebenarnya ingin dinikahi oleh Pevita? Axel, kan? Lalu mengapa tadi ia berkata…dengan dirimu yang sekarang? Apakah itu maksudnya…dirinya? Ada apa dengan diri Axel yang dulu? Apakah Pevita tidak terlalu menyukainya? Mengapa dengan kakaknya?
Tapi, kalau memang Axel-lah yang dimaksud oleh Pevita, Pierre merasa semakin sedih. Sedih, bukan karena Pevita tidak memilihnya-melainkan karena permintaan gadis itu takkan pernah terwujud. Axel sudah tidak ada.
Larut dalam lamunan dan pikirannya sendiri, Pierre tidak menyadari kalau Pevita sudah tertidur. Gadis itu terpejam, tidur dengan lelap. Pierre dengan hati-hati bangun dan menggendong tubuh ringan gadis itu ke kamar. Ia membaringkannya di atas tempat tidur, menyelimutinya dengan selimut hangat, dan perlahan mengecup kening gadis itu-setelah mengusap rambut halusnya pelan.
Pierre berdiri di sebelah tempat tidur Pevita, memandangi gadis itu. Kemudian setelah puas memandanginya selama beberapa menit, Pierre keluar dari kamar Pevita dan berjalan pelan menuju balkoni.
Balkon dari gedung apartemen ini menghadap langsung ke luar, menyuguhkan kota Beijing yang gemerlap dengan lampu-lampunya di saat malam sebagai pemandangan.
Angin juga terasa cukup kencang, karena apartemennya terletak di lantai lima belas.
Ia jatuh cinta pada Pevita saat mereka masih kelas dua SMA. Pevita, dirinya, dan Axel berada di SMA yang sama. Mereka bertiga bersahabat, sangat dekat. Pierre sudah jatuh cinta pada Pevita pada pandangan pertama, namun ia tak pernah berani untuk menyatakan cintanya. Ia tahu ia terlambat, ketika Axel lebih dahulu menyatakan cintanya pada Pevita. Alhasil, ia hanya bisa menelan perasaannya sendiri demi kebahagiaan kakaknya dan Pevita. Ia tidak mau merampas atau merebut, ia menyembunyikan perasaannya, karena ia juga menyayangi Axel.
Ia tahu, Pevita tidak mencintainya. Hanya Axel, kakak sekaligus sahabatnya.
Ia tahu semua tentang Pevita, lebih dari sekadar pengetahuan seorang tentang sahabatnya. Ia peduli pada Pevita lebih dari ia memedulikan dirinya sendiri. Hanya saja, semua itu berlaku yang sama bagi Pevita-namun tidak terhadapnya, terhadap Axel.
Sampai mereka tumbuh besar, sampai Pevita bertunangan dengan Axel, Pierre masih menyimpan perasaan yang sama untuk Pevita. Tidak pernah berubah, sepersen pun-tidak.
Sampai kini, Axel meninggal dan keadaan memaksa dirinya untuk menjadi kakaknya di hadapan Pevita yang buta.
Semuanya seharusnya tidak seperti ini. Seandainya ia menyatakan perasaannya terlebih dahulu pada Pevita, ia tidak akan harus berada di posisi sesulit ini.
Pevita akan membencinya. Di saat gadis itu tahu kalau selama ini Axel sudah meninggal dan ia menipu gadis itu dengan menjadi Axel.
Pierre mengeluarkan kotak kecil dengan bahan beludru berwarna biru donker dari kantung celana jinsnya. Ia mengusap kotak itu dan tersenyum. Perlahan ia membuka kotaknya.
Cincin indah berwarna perak dengan mata berlian membuat senyumannya semakin lebar. Ini adalah cincin desainnya, yang ia buat khusus untuk Pevita.
Mungkin ia takkan bisa melamar gadis itu, mungkin gadis itu tidak akan pernah menjadi miliknya, tapi setidaknya ia ingin Pevita memakai cincin ini untuknya…

****

Tiga bulan kemudian….
”Jadi, bagaimana Dokter Lim?” tanya Pierre. Dokter Lim adalah kerabat Dokter Salim yang kini menangani Pevita.
”Sekarang matanya sudah memiliki peluang lebih besar unutk kembali melihat. Anda bisa pulang ke Indonesia, operasi di sana. Atau mau operasi di sini saja?” tanya Dokter Lim.
Pierre tersenyum lebar, tapi kemudian senyumnya sirna ketika ia mendadak teringat sesuatu.
”Nak Pierre?” panggil Dokter Lim, karena yang diajak bicara tak kunjung menyahut.
”Ah.” Pierre tersentak, ”Ehm…saya rasa lebih baik operasi di Indonesia saja. Pevita sudah rindu rumah, saya juga.”
Dokter Lim mengangguk, ”Sampaikan salam saya pada Dokter Salim.”

****

Sebelum pulang ke Indonesia, dan sebelum memasuki masa operasi, Pevita meminta lagi untuk pergi ke danau Shichahai. Katanya, walau tidak bisa melihat seberapa indahnya pemandangan danau buatan tersebut, tetapi Pevita merasa nyaman dan sejuk sekali di sana.
Tentu saja Pierre mau. Ia sadar kesempatan ini adalah kesempatan terakhir baginya. Setelah Pevita berhasil melihat lagi, setelah ia tahu semuanya, gadis itu pasti membencinya. Ia takkan lagi bisa menemui Pevita.
Jadi, ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memberikan cincin indah kreasinya yang ia buat khusus untuk Pevita.
”Kamu tahu nggak, aku seneng banget…” tutur Pevita. Ia tidak memakai kacamata hitamnya. Rambut cokelat ikalnya yang panjang itu tergerai begitu saja, bergelung indah di punggungnya. Hidungnya yang mancung semakin mempercantik wajahnya ketika dilihat dari samping. Seulas senyum tersungging di bibir tipis merah mudanya itu.
”Seneng karena kamu bakal bisa melihat lagi?” Pierre menahan senyumnya. Ia merasa kalimat yang baru ia ucapkan adalah ambigu. Memiliki dua makna. Makna sebenarnya, ia benar-benar ingin Pevita bisa melihat lagi. Tapi di sisi lain….ia juga tidak ingin. Kalau Pevita bisa melihat, maka matanya akan terbuka lebar untuk melihat kebohongan ini.
”Nggak cuma itu,” Pevita menatap Pierre dengan mata kosongnya, ”Axel, aku merasa diri kamu berbeda banget. Semenjak kecelakaan kita waktu itu, kamu jauh berbeda.”
Pierre mengernyitkan dahinya, ”Berubah bagaimana?”
”Kamu dulu nggak pernah bisa hafal apa makanan kesukaanku. Kamu nggak pernah ngajak aku ke tempat romantis. Kamu nggak pernah bisa betah pas aku nyandarin kepala aku di bahu kamu. Dan kamu, nggak pernah ngomong selembut seperti kamu sekarang ini ke aku.”
Pierre terperanjat. Ia memandang Pevita tidak percaya. Apakah…seburuk itu kakaknya dulu memperlakukan Pevita? Kakaknya tidak menghargai Pevita yang telah menjadi miliknya? Sedangkan dirinya di sini…bersumpah akan mengorbankan apa pun agar Pevita bisa menjadi miliknya!
”Aku harap kamu nggak berubah, Xel. Kecelakaan itu membawa hikmah juga, ternyata. Kamu jadi bisa berubah menjadi sosok yang selama ini kuinginkan, sosok yang selama ini kudambakan.” Tutur Pevita tersenyum lebar. Ia meraih tanganku, berusaha menebak-nebak di mana keberadaan tanganku. Lalu setelah menemukannya, ia menggenggamnya erat.
”Dan rasanya, tanganmu berbeda. Lebih…halus.” gumam Pevita, hampir tidak terdengar.
Pierre menelan ludah. Inilah saatnya.
”Pevita, aku ingin bicara sesuatu padamu.” Pierre merogoh kotak cincin dari dalam kantung jinsnya. ”Aku takut nanti tidak akan ada kesempatan lagi untukku…aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama untuk menunggu dan mengulur waktu, aku tidak mau terlambat. Aku lebih baik mengatakannya sekarang.”
Pierre sempat berpikir hati nuraninya yang mengambil alih akal sehatnya untuk memberitahukan Pevita yang sejujurnya. Tapi untung akal sehatnya masih ada di tempurung otaknya. Toh juga sebentar lagi Pevita akan mengetahuinya.
”Cincin ini…cincin yang sangat indah, seandainya kamu bisa lihat keindahannya. Cincin ini, aku kasih ke kamu. Sebagai tanda, yang aku yakin kamu bisa tahu tanda apa itu.” Pierre menyematkan cincin indah buatannya itu di jari manis Pevita yang mungil. Muat, dengan sempurna, persis seperti apa yang telah ia duga dan ia perkirakan sebelumnya.
Pevita menahan napasnya, menutup mulutnya dengan tangan. Ia tertawa senang, lalu merengkuh Pierre ke dalam pelukan. Hati Pierre berdebar saat Pevita memeluknya, dan ia membalas pelukan gadis itu tak kalah erat. Dalam hati ia berharap, seandainya saja ia bisa menghentikan waktu….

****

Operasi mata Pevita langsung dilaksanakan sehari setelah tibanya mereka di Indonesia. Pierre ingat bagaimana Pevita mengecup pipinya, dan berbisik di telinganya bahwa ia tidak sabar untuk melihat orang yang ia cintai lagi, mungkin maksudnya Axel, bukan dirinya….
Ketika menunggu, Pierre menangis. Hatinya sangatlah berdebar. Ia sudah siap, dengan matang, menerima hardikan dan tatapan benci dari Pevita ketika gadis itu tahu kalau selama ini dirinya adalah Pierre, bukan Axel…bahwa dirinya hanyalah kembaran Axel, bukan diri Axel yang sebenarnya. Sedangkan Axel yang sebenarnya, sudah meninggal dunia.
Pevita pasti sedih. Pevita pasti syok, sangat terpukul.
Dan saat itu tiba.
Ketika dokter yang mengoperasi Pevita memanggilnya untuk masuk ke dalam ruang rawat Pevita, ia bisa merasakan langkah kakinya sangatlah berat. Detik demi detik sangat berarti.
Dan ketika suster perlahan membuka balutan perban yang membalut mata Pevita, jantung Pierre berdetak beberapa kali lebih cepat. Ia merasa dejavu. Hanya saja, kini terasa agak berbeda.
Dan Pevita tersenyum lebar ketika ia merasa matanya mendapatkan penglihatannya kembali, seperti dulu.
Namun, ketika ia menangkap sosok yang berdiri di sudut ruangan-sosok yang memandangnya cemas dan khawatir, senyum lebar itu sirna seketika-hanya hitungan detik.

****

Ingin rasanya Pierre mengusap air mata di pipi Pevita saat ini. Namun, ia hanya diam saja. Jangankan menggerakkan tangannya dan menyentuh pipi gadis itu yang kini basah oleh air mata, mengucapkan satu patah kata saja rasanya susah sekali.
”Kamu boleh bohongin aku,” Pevita berkata dengan nada dingin sekali, ”tapi kamu jangan lukain hati aku dengan cara seperti ini.”
Pierre terdiam.
”Tega kamu. Kamu tega membiarkan aku melambung tinggi dengan sejuta harapan, lalu kamu banting aku lagi!” hardik Pevita.
Pierre ingat ketika tadi Pevita hampir pingsan saat mengetahui bahwa Axel telah meninggal. Ia tahu, cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Hanya masalah waktu…
”Kamu udah nipu aku. Kebaikan kamu, kelembutan kamu,” Pevita memandangnya penuh benci, ”semuanya bohong! Palsu!”
”Pev…”
Pevita bangkit berdiri, ia tak peduli dengan orang-orang yang lewat memandangnya penuh tanya.
”Axel kakak kamu, sahabat kamu, Pierre! Tega kamu berpura-pura jadi dia!!? Tega kamu…kamu….!?” Ia kehabisan kata-kata untuk meluapkan rasa sesak dan marah yang menjajal di dalam hatinya.
”Semua nggak seperti apa yang kamu duga, Pevita. Kamu belum tahu semuanya.”
”Aku nggak perlu tahu apa-apa lagi, kalau nantinya semua itu bakal menyakiti hati aku.” Pevita berdesis sinis, sangat dingin. Ia melepaskan cincin pemberian Pierre dari jarinya, lalu melemparkannya ke rumput hijau. ”Aku nggak perlu cincin tanda palsu itu. Kamu pernah nanya kan cincin itu tanda apa ke aku, bilang kalau aku pasti mengerti itu tanda apa. Sekarang aku mengerti. Cincin itu hanyalah simbol kepalsuan kamu, Pierre!”
Dan begitu saja. Pevita pergi. Tidak mau menemuinya lagi.
Sepeninggal Pevita, hati Pierre terasa kosong. Ia tahu semua ini akan terjadi, tapi ia tak pernah menyangka kalau akhirnya hatinya akan sesakit ini.
Air mata menetes mengalir dari matanya, namun dengan cepat ia mengusapnya.

****

”Baik-baik kamu di Beijing.” Ayah Pierre menepuk pundak putranya. Ia memandang putranya dengan bangga, ”Papa bangga padamu. Mama juga. Sayang, dia hanya masih terpukul dengan kematian Axel yang begitu cepat.”
Pierre tersenyum kecil. Bahkan ibunya tidak mengantarkannya ke bandara, melepas keberangkatannya ke Beijing. Ia mendapatkan beasiswa S2 di sana. Sekolah desain perhiasan.
”Di mana kamu akan tinggal?” tanya ayah.
Pierre tersenyum, ”Ada apartemen di sana, yah. Tenang saja.”
”Pierre,” Panggil ayahnya, ”ayah nggak pernah membeda-bedakan antara kamu dan Axel. Tidak pernah. Ayah bangga dengan keduanya.”
Pierre tersenyum. Ayahnya memang bijak.
”Soal Pevita…”
Pierre seakan tersetrum mendengar nama itu disebut oleh ayahnya. Sampai sekarang, dua bulan sudah berlalu semenjak kejadian itu…Pevita tidak pernah lagi menghubunginya, persis seperti apa yang telah ia duga.
Dan ia harus melepas cinta itu pergi.

****

Wo zhidao ni bu ai wo. Keshi…tingshuo…ni hen ai ta? Yinni ren?” 17 Xi Zhuan menatap Pierre penuh arti. Gadis berambut hitam lurus itu meminta kejelasan dari Pierre.
Shuo yi shuo.” 18 Xi Zhuan kembali berkata.
Dui. Wo ai ta. Hen ai. Ta shi…” 19
Ah, wo min bai. Meiyou. Wo ai ni, keshi, ni ai ta.” 20 Xi Zhuan berusaha tersenyum setelah penolakan dari Pierre. Ia mencoba untuk mencairkan suasana.
Xie xie….” 21 Pierre berusaha untuk mengatakan pada Xi Zhuan betapa berterima kasihnya ia karena gadis itu telah mengerti perasaannya.
Buyongxie. Wo zhu ni kuaile. Ni shi wo de pengyou. Zhenghao….xianzai wo yao qu dianyingyuan. Lai..women zou ba.” 22
Dubuqi. Wo bu yao qu dianyingyuan. Wo yao huijia.” 23
Haode, meiyou. Wo song ni qu, zenmeyang?” 24
Pierre menggeleng, lagi-lagi menolak tawaran Xi Zhuan. Xi Zhuan tersenyum sambil menggeleng pelan, ”Hao. Wo qu ba!” 25
Dan Xi Zhuan pergi. Xi Zhuan bukanlah yang pertama. Ada banyak gadis yang menyatakan cinta padanya selama ia di sini, namun…tidak ada satu pun yang bisa membuka hatinya. Hatinya masih tertutup, dan akan terbuka hanya jika untuk Pevita. Tapi hal itu takkan terjadi.
Sudah berapa bulan berlalu, nampaknya Pevita benar-benar benci padanya karena gadis itu tak kunjung menghubunginya.
Sudahlah. Ia tidak dapat memaksakan gadis itu untuk membuka hatinya kembali.
Pierre memandang cincin buatannya yang ia buat khusus untuk Pevita, yang dibuang oleh gadis itu pada akhirnya karena emosinya dan rasa bencinya terhadap dirinya. Cincin ini kini hanya menganggur.
Danau Shichahai terasa berbeda dengan yang terakhir kali ia kunjungi bersama Pevita. Rasanya sunguh berbeda…
Pierre sering ke sini. Untuk mengingat memorinya bersama Pevita. Ia bangkit dari duduknya, dan berjalan perlahan. Beijing sedang musim panas. Pierre memasukkan tangannya ke jaket, lalu berjalan sambil menikmati pemandangan air danau yang jernih dan berwarna biru menggoda.
Namun ketika ia mengalihkan pandangannya ke depan, ia melihat sosok yang sangat ia kenal. Sosok yang selama ini ia selalu inginkan. Otomatis seluruh aliran listrik di tubuhnya menyengat hatinya begitu cepat, hingga ia merasa debar-debar tak karuan di dalam hatinya.
Pevita.
Pierre mengira dirinya berhalusinasi, karena ia begitu sosok Pevita selama ini. Tapi walau berulang kali ia memejamkan matanya dan membukanya kembali, Pevita masih berdiri di depannya. Tersenyum. Begitu cantik.
Gadis itu melangkah mendekatinya.
Ni hao ma?”26 Ia tersenyum menatap Pierre. Karena Pierre tak kunjung jawab dan malah larut dalam keterkejutannya, ia mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Pierre. Dielusnya pipi pria itu.
Wo shang ni…” 27 seru Pevita, ”Aku kangen kamu.”
Pierre membuka mulut, ”Pev….bagaimana kamu bisa ada di..sini?”
”Aku menyusulmu. Mengapa kamu ke Beijing nggak bilang-bilang? Ketika aku tahu, aku kecewa dan marah. Butuh waktu buat aku untuk  meyakinkan diri aku menyusul kamu ke sini. Dan di sinilah aku, di hadapan kamu. Berharap kamu mau memaafkan aku, dan perasaan ke aku masih ada di sana.” Pevita menunjuk dada Pierre, yang ia maksud hatinya.
Pierre memandang Pevita dengan pandangan bertanya. Tampaknya ia masih sulit untuk memercayai semua ini.
”Mama udah ceritain semua ke aku. Tentang kamu yang berkorban dengan cara berpura-pura jadi Axel, dan perasaan kamu ke aku semenjak kita SMA. Maaf.” Ucap Pevita, memandang lekat-lekat mata Pierre. ”Aku harap perasaan itu nggak berubah. Nggak pernah berubah.”
”Aku kira…aku kira kamu benci sama aku karena selama ini aku udah menipu kamu dengan cara berpura-pura menjadi Axel…”
”Awalnya iya….tapi lama-lama aku sadar semua itu demi kebaikan dan perasaan aku sendiri. Bahkan kamu mengorbankan perasaan kamu, kan? Begitu besar cinta kamu buat aku, ya? Sampai kamu rela kayak gitu…”
Pierre terdiam.
Pevita menghentikan tawanya, ”Pierre.” Ia berubah serius, ”Aku minta maaf. Aku mengerti kalau sekarang ada pengganti aku di hati kamu. Tapi…aku baru sadar. Butuh waktu lama bagi aku untuk memberanikan diri mengutarakan hal ini kepada kamu. Tapi…aku sadar…selama ini…saat kita di Beijing…yang aku cintai bukan Axel. Bukan Axel yang selama itu sama aku, tapi kamu, Pierre. Dan aku pernah bilang kan? Aku ingin bersama dengan orang itu, aku ingin bersama dengan kamu, Pierre. Aku jatuh cinta sama kamu di saat aku nggak bisa lihat kamu. Aku jatuh cinta sama kamu di saat aku hanya bisa merasakan sentuhan dan kelembutan sifat kamu aja.”
”Tapi….bagaimana dengan Axel?”
”Awalnya aku nggak siap. Tapi…kita semua harus jalani hidup lagi. Bukannya kamu yang pernah bilang ke aku kalau kita masih punya hidup panjang yang harus kita jalani?” Pevita tersenyum.
Pierre tak memercayai semua ini. Pevita menyatakan cinta padanya? Setelah sekian lama ia berkorban, menahan perasaannya, menunggu yang tidak pasti?
Pierre meraih kedua tangan Pevita dan mengecupnya. Ia merogoh cincin berlian yang masih ia simpan di dalam kantung jinsnya. Lalu, ia sematkan di jari manis Pevita-untuk kedua kalinya. Kali ini sebagai seorang Pierre, bukan Axel.
”Cincin itu…kamu masih simpan? Maaf aku pernah menyia-nyiakan pemberian berharga itu…” Mata Pevita berkaca-kaca.
”Asal kamu tahu, Pev, bukan Axel yang pertama kali jatuh cinta padamu.” Pierre menatap Pevita lekat-lekat, seolah dengan tatapan matanya ia ingin Pevita m erasakan apa yang ia rasakan untuk gadis itu di dalam hatinya, ”Tapi aku.”
Pierre mengecup kening Pevita halus, lembut, dengan tangan kanannya mengelus kepala gadis itu lembut. Pevita memejamkan matanya saat Pierre menciumnya. Disertai bisikan angin lembut dan pemandangan danau Shichahai yang indah, mereka semua menjadi saksi atas ikatan cinta Pevita dan Pierre.
Dan satu kata yang diucapkan Pierre kemudian seolah menegaskan semuanya.
Wo xian ai ni, Pevita….”28


1 : Anda mau beli apa?

2 : Ini totalnya berapa?

3 : Apakah Anda orang Indonesia?

4 : Iya, benar.

5 : Baiklah, harganya tiga ratus ribu rupiah bagaimana?

6 : Mahal sekali, murahkan sedikit! 7:Tidak bisa. Barang ini cantik, dia pasti suka.

8 : Anda mau makan apa?

9 : Saya mau makan sapi panggang.

10 : Pedas atau manis?

11 : Pedas.
12: Minumnya mau apa?

13 :Air mineral. Kalau dia, makannya ayam panggang. Minumnya jus stroberi.

14 : Satu porsi sapi panggang dan ayam panggang, dua porsi salad, satu gelas air mineral, dan satu gelas jus stroberi? Benar kan?

15 : Benar, pelayan….kami sangat lapar…

16 : Saya mengerti. Silakan tunggu sebentar. Pesanannya akan datang.17 :  Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Tapi, aku dengar…kamu mencintai orang Indonesia itu?
18 : Katakanlah.
19 : Benar. Aku mencintainya. Dia itu…
20 : Aku mengerti. Tidak apa. Aku mencintaimu, tapi….kamu mencintainya.
21 : Terima kasih.
22 : Tidak perlu berterima kasih. Aku berharap kamu bahagia. Kamu adalah temanku. Kebetulan, aku mau pergi ke bioskop. Ayo, kita pergi bersama!
23 : Maaf, aku tidak mau pergi ke bioskop. Aku mau pulang.
24 : Baiklah, tidak apa. Aku antar kamu, bagaimana?
25 : Baiklah. Aku pergi dulu, ya!
26: Anda apa kabar 27: Aku merindukanmu.
28 : Aku lebih dahulu mencintaimu


 (image source : google)

No comments:

Post a Comment

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com