Aku dan Noella kembar identik. Wajah dan rupa kami sama,
namun hati dan pikiran kami sama sekali berbeda, layaknya bukan sepasang kembar. Kami dua orang gadis dengan tubuh
kurus tidak berisi dan berkulit kuning langsat, bermata bulat dengan sudut yang
tajam, hidung mancung, dan bibir tipis serta alis yang tipis. Rambutku hitam
dan lurus, sedangkan Noella berambut cokelat gelap dan bergelombang.
Kami tidak dapat terpisahkan. Aku dapat merasakan apa
yang ia rasakan, begitu pun dia. Aku rasa itulah yang dikatakan kembar, kami
dapat merasakan hal yang sama.
Kami pun menyukai hal yang sama. Kami sama-sama suka
acara TV Barnie&friends, sama-sama gemar menyanyikan lagu-lagu di
film Sounds&Music, sama-sama menyenangi boneka barbie, dan sama-sama
tergila-gila dengan Disney.
Pakaian kami selalu sama, hanya berbeda warna. Model ikat
rambut kami selalu sama. Makanan dan minuman kami selalu sama. Semuanya yang
kami miliki sama. Mungkin itulah takdir dari sepasang kembar.
Tapi entah kenapa, walau pun kami kembar, kasih sayang
yang kami dapatkan tidaklah sama. Papa dan Mama lebih menyayangi Noella,
dibandingkan diriku. Walaupun mereka terus berkata we love you both equally,
tapi aku tahu mana di antara kami yang mereka lebih sayang. Dan jawabannya
adalah, Noella.
Aku tidak mengerti, setiap kali Noella meminta barang semahal apa pun,
mereka menurutinya. Atau di saat Noella diperhatikan sampai hal sedetil pun,
sedangkan aku ditanyai kabar saja jarang.
Awalnya aku iri terhadap Noella karena kasih sayang
berlimpah untuknya. Tidak hanya perhatian Papa dan Mama, tapi seluruh anggota
keluarga besar. Tapi ketika aku lambat laun tumbuh besar dan mulai bisa berpikiran
dewasa, aku mengerti mengapa Noella dilimpahkan perhatian dan kasih sayang yang
begitu besar.
Itu semua karena Noella mengidap penyakit kelainan
hati semenjak ia lahir.
Menyedihkan memang, dan aku terpukul saat menjadi orang
terakhir yang mengetahuinya, padahal aku adalah orang terdekat dengan Noella.
Noella adalah kembaranku, dan aku
marah ketika menjadi orang terakhir yang mengetahuinya. Tapi di lain sisi, aku
sangat kasihan dan sangat ingin menggantikan posisi Noella.
Bukan
hanya sifat dan pribadi kami yang berbeda, semakin kami
bertumbuh besar, semakin banyak hal yang membuat kami tidak berpikiran di jalan
yang sama. Apa yang aku tidak suka disukai oleh Noella kini, dan begitu pula
sebaliknya.
Sampai kami menginjak masa SMA.
Aku bertemu dengan Andre saat kami berdua duduk di kelas
3 SMA. Aku sudah menyukainya dari kelas 1 SMA, namun baru mendapatkan
kesempatan untuk dekat dengannya saat kelas 3 SMA.
Andre adalah cowok yang tampan. Ia adalah sosok yang
selama ini kuimpikan. Bersamanya adalah saat-saat terindah di dalam hidupku.
Belum pernah aku merasa sebahagia seperti saat aku bersama dengannya. Tawanya,
senyumnya, leluconnya, adalah hal-hal yang sangat kudambai. Kami menyukai hal
yang sama, dalam bidang musik atau film. Kami memiliki banyak kesamaan, dan aku
berharap semua itu mengarah ke hubungan yang lebih serius. Aku bahkan berharap
kami akan berjodoh nantinya.
Sampai Andre suatu saat memintaku untuk menjadi pacarnya.
Tentu saja aku mengiyakannya! Aku telah menyukainya selama dua atau tiga tahun,
dan tidak mungkin aku bisa mengatakan tidak saat ia menanyakanku sesuatu
yang sudah kutunggu-tunggu selama ini.
Di saat aku berpacaran dengan Andre, semua terasa semakin
indah. Namun, aku melihat dan memperhatikan kalau saudari kembarku belum juga menemukan
pasangannya. Ia tidak pernah berpacaran seumur hidupnya, dan aku sadar sudah
tiba waktu baginya untuk mencari seorang kekasih. Ia memang tidak pernah
bercerita denganku tentang seseorang yang berhasil menarik perhatiannya dan
membuat hatinya berdebar-debar. Aku rasa itu semua karena perubahan yang
terjadi dan perbedaan yang kini melebar di antara kami. Ia menjadi begitu
pendiam, berkutat hanya dengan buku-bukunya. Aku takut lama-kelamaan ia akan
menua karena terlalu sibuk membaca buku dan tidak sempat mencari kekasih
atau pasangan hidup.
Tapi aku rasa semua itu terlalu jauh, jadi aku hanya
bersantai saja dan tidak pernah berpikiran yang macam-macam selama aku
berpacaran dengan Andre.
Andre sering main ke rumahku, dan kadang ia suka bingung
membedakan aku dan Noella. Walau, Noella selalu berpakaian feminim dan aku agak
cuek dalam hal berpenampilan. Tanpa aku sadari, sesuatu sedang berjalan dan
tumbuh seiring berjalannya waktu di luar sepengetahuanku.
Sampai tiba waktunya lulus SMA. Aku mendapatkan beasiswa
ke Singapura untuk kuliah dengan jurusan psikologi, sedangkan Noella yang lebih
pintar daripada aku mendapatkan jalur undangan masuk ke universitas negeri di Bandung, jurusan kedokteran. Kami
memilih jalan yang berbeda.
Aku pun harus berangkat ke Singapura dan tinggal di sana
selama kurang lebih empat tahun. Dan dengan sangat berat, hubunganku dengan
Andre harus kandas sementara
di tengah jalan. Aku
akan kembali, dan hubungan kita pun akan terajut kembali setelah kami berdua
selesai menempuh sarjana, begitulah janji kami. Aku mengucapkan
salam perpisahan yang terberat dengannya, juga untuk Noella. Aku akan menempuh
hidup lebih mandiri di Singapura, dan berharap yang terbaik akan aku dapatkan.
Tapi aku tidak menyadari saat itu, bahwa kepergianku ke
Singapura nantinya akan memberikanku cobaan hidup terberat yang pernah ada.
**
Bandung, 27 Oktober 2014
Sudah lama sekali aku tidak pulang ke Indonesia, terakhir
kali tiga setengah tahun yang lalu. Aku rindu negara asalku, terutama
Bandung-tempat kelahiranku. Semenjak tiga setengah tahun yang lalu, aku tidak
sempat pulang ke Indonesia karena sibuk dengan urusanku dan kuliahku. Dan
sekarang, semuanya layak untuk diperjuangkan. Aku mendapatkan nilai sempurna
dan berhasil lulus dengan puas dari universitas di sana. Kini, aku pulang ke
Indonesia karena aku telah mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji besar
menggiurkan. Mungkin nanti kalau sudah memiliki cukup banyak uang, aku akan
membuka praktek sendiri.
Aku sengaja tidak memberitahu keluargaku kalau aku pulang
hari ini. Mereka pasti akan terkejut sekali ketika mengetahui kepulanganku dan
kemunculanku di rumah. Apalagi Andre! Aku sudah berhenti saling mengirimkan email
dengannya sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Aku berasumsi dia sedang
sibuk, oleh karena itu ia jarang mengirimkanku kabar.
Awalnya aku merasa sangat senang dan tidak sabar untuk
bertemu dengan keluargaku dan Andre, tapi ketika aku sampai di rumah, aku
dikejutkan oleh sesuatu yang mungkin tidak akan pernah sudi aku lihat seumur
hidupku.
Di ruang tamu, duduk kedua orangtuaku yang memandang
Noella penuh bahagia. Semua itu karena Noella telah berhasil mendapatkan lelaki
yang ia cintai, pada akhirnya. Mungkin aku akan senang, apabila lelaki yang
duduk di sebelahnya dan tengah menggenggam tangannya dengan mesra itu bukanlah
Andre.
**
”Maaf, Leolla. Aku hanya tidak bisa menghindar dari
cinta.” Seru Noella getir. Aku duduk di sebelahnya, hanya dibalut oleh diam dan
tidak dapat berkata-kata. Hatiku sangat sakit dan perih. Aku merasa seperti
telah ditusuk dari belakang. Aku ingin menangis, namun hanya setetes air mata
yang menggenang di pelupuk mataku, bahkan tidak kuat untuk jatuh.
”Selama kamu pergi empat tahun ke Singapura, aku
kesepian. Andre ada di sini menemaniku. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa
saat...” Noella tampak tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
”Apakah kamu mencintainya?” tanyaku dingin, tidak
memandang Noella.
Noella tampak terkejut mendengar pertanyaanku, namun ia
terdiam beberapa saat sebelum menjawab. ”Aku tahu kamu dan Andre pernah
memiliki hubungan....tapi bukankah sekarang tidak ada apa-apa di antara
kalian?”
”Aku menunggu Andre. Aku setia kepadanya.” Ketusku
bergetar. ”Kami berjanji
akan kembali.”
”Ya, tapi Leolla...maafkan aku...” Noella mendesah,
”Andre tidak mengatakan hal yang sama denganmu. Aku kira aku...sah-sah saja
berpacaran dengannya. Karena kamu dan dia tidak memiliki hubungan lagi, dan aku
kira kamu telah menemukan pengganti Andre....”
”Apa kamu cukup tega melakukan hal ini? Aku adalah
saudari kembarmu, Noella! Andre itu selalu dan akan terus menjadi kekasihku,
walau kami telah putus. Tiada
yang lain selainnya!” Aku mulai naik pitam.
Noella tampak kebingungan, merasa bersalah. Ia kembali
menangis.
”Aku tidak menyangka kamu tega menusukku dari belakang.
Begitu pula papa, mama. Semua lebih menyayangimu, dan membiarkan
kebahagiaanku dikorbankan hanya demi kebahagiaanmu!” hardikku, ”Apa selama aku
berpacaran dengan Andre dulu, kamu telah menyimpan rasa untuknya? Kamu sudah
menyukainya? Apa kalian mengkhianatiku?”
Noella memandangku dengan tatapan nanar.
”Asal kamu tahu,” Aku meraba dadaku dan menepuk-nepuknya
dengan keras, ”Aku terluka dan sangat kecewa dengan perbuatanmu ini, Noella!
Aku boleh dan terima kalau aku dinomorduakan di segala hal, tapi untuk hal ini
aku sama sekali tidak bisa! Apa kamu pernah merasa sesuatu yang sangat kau
sayang dan kau cinta direnggut darimu? Pernahkah!?”
”Leolla,” potong Noella, ”kalau kamu memang tidak
menyetujui hubunganku dengan Andre, aku bisa terima. Aku tidak apa. Semua demi
kebahagiaanmu. Aku akan mundur dan menyerahkan Andre kembali padamu.”
”Andre bukanlah mainan yang bisa kau ambil dan kau
kembalikan sesuka hati. Dan aku,” Aku menunjuk diriku sendiri, ”tidak akan
segampang ini memaafkanmu!” Dan aku meninggalkan Noella sendiri di teras.
**
Aku dan Noella tidak lagi berbicara satu sama lain.
Ketika berpas-pasan, aku pura-pura tidak melihatnya atau memalingkan wajah. Ia
tampak mencoba untuk mengajakku berbicara seperti biasa, tapi aku tidak peduli.
Aku mengabaikannya, dan aku juga tidak peduli orang tuaku melemparkan pandangan
marah padaku setiap kali aku mendiamkan dan cuek terhadap Noella.
Salahkah aku? Selama bertahun-tahun aku hidup di dunia
ini aku selalu menjadi nomor dua. Apa-apa selalu Noella yang diutamakan, aku
mengerti itu semua karena ia mengidap penyakit yang membuatnya begitu lemah dan
rapuh. Aku rela, aku ikhlas. Tapi untuk hal yang satu ini, haruskah aku
merelakan juga?
Andre kadang datang ke rumah. Ia tampak tidak nyaman
bertemu denganku, jadi ia hanya diam saja ketika bertatap muka denganku. Aku
tidak peduli dengannya, aku juga mendiamkannya. Dasar cowok brengsek, pikirku.
Ia kira ia bisa memacari dua saudari kembar sekaligus? Aku merasa muak. Tapi,
aku juga merasa sakit hati karena ia lebih memilih Noella ketimbang aku.
Sampai suatu saat, kudengar tangisan Noella di ruang
tamu. Aku mengendap-endap di dalam kamar dan menajamkan pendengaranku.
”Aku tidak bisa bertengkar dengan saudariku sendiri
hanya gara-gara seorang pria, Andre!” isak Noella. ”Aku tidak pernah bertengkar
dengannya separah ini. Dan aku tidak mau hubunganku dengannya hancur hanya
karena aku merebutmu darinya.”
”Lalu, kamu mau hubungan kita ini berakhir? Kita sudah
merencanakan pernikahan, Noella!” tandas Andre.
Aku terpekik, lalu cepat-cepat menutup mulutku dengan
tangan. Aku sangat terkejut dan sangat sakit hati. Aku bisa merasakan hatiku
nyeri, rasanya sangat sakit. Sangatlah menyakitkan ketika mengetahui mereka
telah merencanakan sebuah pernikahan. Pernikahan Andre, yang seharusnya
denganku! Bukan dengan Noella!
Terdengar isak tangis Noella, ”Aku...Leolla sudah
berkorban sangat banyak untukku, Andre, dari dulu. Tapi aku merasa jahat sekali
sekarang, karena aku telah merebut sesuatu yang sangat berharga di dalam
hidupnya. Aku tidak mau menyakitinya, oleh karena itu aku lebih memilih
mundur.”
Aku mendesis sinis dalam hati.
”Kamu tidak mau memperjuangkan kita? Kamu lebih memilih
ego kakakmu?” Andre berseru marah.
”Terserah kamu mau anggap dia apa. Tapi Leolla-lah yang
pertama kali kau cintai, bukan aku. Dialah yang seharusnya bersanding
bersamamu, bukan aku. Jadi, aku merelakanmu untuknya. Aku mencintaimu Andre,
tapi aku sangat menyayangi Leolla. Karena aku mencintaimu dan menyayangi
saudariku, aku merelakanmu.” Tutur Noella lembut.
Tidak kudengar lagi apa perkataan dan tanggapan Andre,
atau lebih tepatnya aku tidak peduli.
Aku terjatuh lemas di lantai, bersandar pada pintu kamar.
Air mataku tumpah dengan deras, aku menangis kencang.
Apakah aku egois? Apakah aku adalah saudari yang buruk
dan tidak mau berkorban? Tapi aku sudah begitu banyak berkorban....
Entahlah. Rasanya aneh. Aku tidak lagi menginginkan Andre setelah mengetahui tipe pria seperti apa
dia. Aku malah merasa....bodoh, dan bersalah.
**
Malam itu juga, Noella dilarikan ke rumah sakit karena
penyakitnya kambuh. Badannya panas sekali, dan ia mulai kejang-kejang. Aku
belum pernah merasa setakut itu.
Aku takut kehilangan Noella. Dan harus kuakui, aku lebih takut kehilangan
saudari sekaligus sahabatku itu dibandingkan Andre.
Mungkin Noella merasa tertekan karena ia harus memilih
antara aku atau pacarnya. Mungkin ia bingung, apakah ia harus memperjuangkan
cintanya atau merelakan cintanya untukku. Dan di saat yang bersamaan,
penyakitnya semakin parah dan harus disembuhi.
Kini, aku hanya bisa duduk lemas di ruang tunggu ICU. Aku
hanya bisa berdoa dan merenung, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku menyesal.
”Papa minta maaf karena selama ini lebih memerhatikan
Noella dibandingkan kamu.” Tutur Papa, mendekatiku. Mungkin ia sedari tadi
menyadari aku hanya menunduk sambil sesekali mengusap air mata di pipiku.
Aku mengangkat wajah dan memandangnya.
”Kalau kamu yang berada di posisi Noella, kami akan
melakukan hal yang sama, Leolla.” Serunya.
Aku kembali menangis lagi.
”Kamu adalah orang terhebat yang pernah papa temukan.
Kamu berkorban banyak untuk adikmu, kamu mengutamakan kebahagiannya. Tapi untuk
yang satu ini, papa minta maaf. Papa juga salah, karena tidak memedulikan
perasaanmu dengan membiarkan Noella berpacaran dan hendak menikah dengan Andre.
Papa hanya ingin melihat Noella bahagia, karena kita tidak akan tahu sampai
kapan ia akan bertahan.”
”Aku...”
”Leolla. Apa pun itu keputusanmu, papa dan mama akan
terima. Kami yakin kamu adalah anak dan saudari yang hebat, kamu pasti bisa
bijak menentukan hal ini. Papa tidak memaksa atau memintamu, karena papa juga
tidak mau melihatmu sakit hati dan menderita.”
Aku terdiam. Kurasakan tangan papa menyentuh
tanganku. Saat kulihat wajahnya, ia sedang tersenyum ke arahku.
”Kadang, kita harus merelakan sesuatu yang benar-benar
penting bagi kita, untuk sesuatu
yang benar-benar kita cintai.”
Benarkah? Siapa yang aku lebih cintai?
**
Mungkin karena doaku
terus-menerus tanpa henti, Noella berhasil melewati masa kritisnya. Ia
bisa keluar dari ruang ICU dan pindah ke ruangan rawat inap biasa. Di sanalah,
kulihat ia telah sadarkan diri. Aku pun mempersiapkan keberanianku untuk
berbicara dengannya. Inilah
saatnya. Aku akan memperbaiki apa yang telah retak antara aku dengannya.
”Hai, Noella.” Itu adalah kata-kata pertama yang aku
luncurkan untuknya selama kurang lebih sebulan ini.
Ia tampak terkejut menyadari aku sedang berbicara
dengannya. Tampaknya papa dan mama mengerti kami sedang berada di dalam
percakapan yang serius, oleh karena itu mereka permisi dan keluar dari ruang
rawat inap.
”Bukankah kita ini saudara kembar?” Tanyaku bergemetar
menahan tangis, sambil duduk di pinggir tempat tidur dan memegangi tangannya
dengan erat sekali.
Noella mengangguk, setetes air mata terlihat di ujung matanya.
Aku terisak, ”Aku tidak ingin...hubungan kita
hancur...hanya karena seorang pria.”
”Leolla...” Noella menarik napas, ”aku ikhlas dan rela
kalau aku harus...”
”Tidak,” Aku menggeleng, menyadari kalau hatiku sedikit
sakit. Namun aku harus merelakan. ”aku tidak mau membiarkanmu melakukannya. Aku
sayang padamu lebih dari apa pun, Noella. Maafkan aku telah egois, maafkan aku
telah membiarkanmu membatalkan pernikahanmu dengan Andre, maafkan juga aku
telah meretakkan hubungan persaudaraan kita yang sebelumnya begitu kokoh...”
”Leolla, kamu tidak harus melakukan hal ini...” Noella
memandangku sedih.
”Apa pun itu, aku bahagia untukmu. Kamu bahagia, aku juga
merasakan yang sama. Kamu sedih, aku juga. Kita saudara kembar, dan kita
memiliki ikatan batin, ingat?” Aku menyunggingkan senyum gamang, ”Aku
menyetujui hubunganmu dengan Andre, Noella. Aku sayang padamu, oleh karena itu
aku memutuskan hal ini. Merelakan sesuatu yang sangat penting dalam hidup kita
untuk seseorang yang kita cintai. Itulah yang sedang aku lakukan sekarang.”
Noella memandangku tidak percaya, namun ada sirat bahagia
di sinar matanya.
”Kamu harus menikah dengan Andre, aku tidak mau tahu.
Jangan lagi memikirkan aku, atau tidak aku akan menarik kembali kata-kataku.
Berbahagialah, Noella.”
”Maafkan aku karena telah merebut Andre darimu,....”
”Kamu tidak pernah merebutnya, Noella. Cinta itu datang
sendiri padamu, dia yang memilihmu bukan kamu yang memilihnya. Aku tidak lagi
menyalahkanmu atas hal ini.”
Dan kami pun berpelukan, entah setelah sekian lama. Tanpa
aku sadari, Andre berdiri di belakangku dengan mata berkaca-kaca, dan senyum
bangga yang ia peruntukkan padaku.
**
Aku menangis.
Aku terisak. Aku sedih, kecewa, sakit hati. Tapi aku juga bahagia melihat orang yang kucintai bahagia
bersama dengan orang yang pernah kucintai.
Kini aku duduk di taman hotel dimana pernikahan Noella dan Andre berlangsung. Aku di sini,
merenung, sambil menyendiri dan menangis dengan sepuasnya.
Tadi Noella sangatlah cantik dan Andre sangatlah tampan.
Mereka seperti bidadari turun dari kahyangan, menjelma jadi sepasang kekasih
yang berbahagia dan sangat cocok. Dan aku juga bahagia melihat semua orang
bahagia. Aku juga ingat, Andre mengucapkan terima kasih yang begitu besar
untukku.
Dan di sinilah aku, menyendiri dengan gaun indahku.
Menangis, juga sedang merelakan. Ternyata merelakan itu sulit, hal tersulit
yang pernah kulakukan seumur hidupku.
Aku mengusap air mataku. Aku menyayangi dan
mencintai Noella, jadi untuk apa aku menyesali sesuatu yang kuperbuat untuk
kebahagiaannya? Bukankah ini bagian dari merelakan? Dan sesuatu sedang
menungguku di masa depan, sebagai balasan karena telah merelakan hal yang paling kucintai dengan
ikhlas.
Tiba-tiba, kurasakan ada sesuatu menghantam kepalaku
bagian belakang. Aku segera meraba kepala bagian belakangku, karena merasa
nyeri di sana. Aku menoleh dan melihat ada apel yang telah tergigit di beberapa
bagian tergeletak di atas rumput. Mungkin apel itu yang tadi menghantam
kepalaku. Aah, sakit sekali!
”Astaga....maaf...”
Aku mendongak. Dan astaga! Siapa pangeran tampan yang berdiri di hadapanku saat ini?
Apakah malaikat dari surga yang hendak memberikanku balasan atas pengorbananku?
Ia mengenakan jas putih dan sepatu hitam mengkilat, dan
wajahnya sangat sulit kudeskripsikan karena garis dan lekuk wajahnya yang
begitu menggetarkan hati! Ia kini memandangku dengan pandangan bersalah. Apakah
ia yang tadi melemparku dengan apel? Kenapa harus apel? Kenapa tidak panah
cinta saja yang dilemparnya ke arahku agar mengenai hatiku?
”Apakah kepalamu sakit? Maaf, aku tidak mengira ada
orang.”
Rasa sakitku hilang seketika. Aku tersenyum dan
menggeleng, ”Aku tidak apa.”
Hal
selanjutnya yang kutahu, ia duduk di sebelahku dan kami pun tenggelam dalam
percakapan.
Entah perasaan macam apa itu, tapi aku merasa dan
memiliki firasat yang begitu kuat....kalau akan ada sesuatu yang terjadi antara
aku dan pangeran tampan di hadapanku ini.
Mungkin itu cinta.
No comments:
Post a Comment