5 Langkah Menuju Cinta

 

5 Langkah Menuju Cinta
(5 Ways Closer To Love)




”Gue harus melakukan ini!” Aina memukul setir mobilnya dengan tangan. Di hadapannya, terdapat sebuah ruko agak kuno dengan gaya bangunan pada jaman Belanda, dengan papan besi yang tergantung di atas ruko itu. Tertera huruf besar-besar di papan itu. Madame Lorraine’s.
Setelah memantapkan hatinya, Aina melangkah keluar dari mobilnya dan dengan langkah pasti ia berjalan tegap memasuki ruko usang itu, yang dijadikan tempat seorang peramal mencari uang.
Madame Lorraine adalah dukun cinta, setidaknya begitulah penjelasan kasarnya. Ia sepertinya sudah kehilangan akal sehatnya, yang membuatnya sampai mendatangi dukun cinta untuk mendapatkan cintanya. Habisnya, ia sudah berumur 19 tahun. Dan selama ia hidup di dunia ini, tidak ada satu pun seorang lelaki yang bertandang di hatinya. Teman-temannya yang lain sudah bergonta-ganti pacar, bahkan ada yang telah merancangkan pertunangan. Sedangkan ia, malah berkarat menunggu datangnya cinta.
Ketika ia masuk ke dalam, ia merasa agak seram. Ruko itu agak gelap, hanya beberapa cahaya saja yang membantu penerangan. Sebuah ruangan kecil yang letaknya paling pojok, dengan cahaya berwarna pink dan merah meneranginya. Aina berjalan tanpa ragu memasuki ruangan itu.
Alangkah terkejutnya ia ketika melihat seorang berkerudung duduk di atas karpet, di belakang meja kayu yang agak keropos dan usang. Bola ramal yang isinya adalah kepulan asap berwarna merah terletak di hadapannya. Kartu tarot berjejer dari ujung meja ke ujung yang lainnya.
Aina cepat-cepat duduk di hadapan peramal itu.
”Madam….saya datang ke sini, karena saya ingin melihat nasib percintaan saya.” Aina berdeham, ”Sudah 19 tahun saya hidup, tapi saya nggak pernah pacaran. Padahal, saya sangat menginginkan pacar, Madam.”
Peramal itu membuka kerudung kepalanya. Wajahnya langsung terlihat. Anehnya, peramal itu bukan seorang wanita, melainkan pria agak tua yang sangat kurus dengan deretan gigi kuning yang beberapa berwarna hitam-mungkin hasil tambalan. Aina mengernyit, bergidik ngeri. Bukankah seharusnya ‘madam’ diperuntukkan bagi wanita? Mengapa yang kini berhadapan dengannya adalah seorang pria aneh yang sedari tadi hanya menyeringai kepadanya?
”Gampang. Sangat gampang,” desisnya sambil menyeringai, lagi.
”Gampang?” Secercah harapan menerangi sisi gelap di dalam diri Aina. Ia tersenyum lebar, senang. ”Gimana caranya….Mbah?” Ia bingung menemukan panggilan yang tepat untuk memanggil orang di hadapannya ini. Jelas, ‘madam’ bukanlah panggilan yang tepat.
Pria aneh itu mengangguk. Ia menempelkan kedua telapak tangannya, tampak berpikir sebentar. Ia lalu tersenyum kecil, penuh rahasia dan misteri.
”Mbah…?” Panggil Aina, hati-hati.
Si Mbah tiba-tiba menjentikkan jarinya dan tertawa keras, mengejutkan Aina sehingga gadis itu agak mundur ke belakang. Si Mbah langsung menatap bola ramalnya yang asapnya semakin mengebul tebal. Ia tampak sangat serius, bahkan bibirnya komat-kamit. Aina menduga ia sedang ‘membaca’ petunjuk untuknya.
”Cara-caranya adalah….” Ia bersiap untuk memberikan Aina petunjuk. ”main lompat tali 100 kali lompatan di taman, makan mie ayam 5 mangkok, mandi air hujan jam 11 malam, berdiri di tengah jalan selama 20 detik, dan jalan mundur 100 langkah.”
Aina membelalakkan matanya. Apakah ia tidak salah dengar? Hal-hal macam apa yang harus ia lakukan itu? Bukan sangat aneh saja, melainkan gila! Ia belum pernah mendengar ada orang yang harus melakukan deretan hal itu hanya untuk mendapatkan cinta!
”Mbah yakin? Sa…saya ragu hal-hal itu bisa berhasil…”
”Katamu….kamu mau mendapatkan cinta?” si pria aneh yang Aina panggil ‘mbah’ itu menyeringai seram, ”tapi bagaimana kamu mendapatkan cinta kalau kamu tidak mau berkorban demi hal itu?”
Kedua bahu Aina lunglai lemas. Mau tak mau ia harus melakukan hal-hal yang dikatakan oleh peramal aneh tadi.
 
****

”89….90…” Aina dengan lemas mengayunkan lompat talinya, lalu siap-siap melompatinya. Keringat telah mengalir dengan deras di dahinya, seluruh kulitnya. Ia bahkan merasa kaus olahraga yang ia kenakan sudah basah, karena keringat hasil dari olahraga lompat tali ini.
Sebagai bentuk pengorbanan dirinya untuk mendapatkan cinta, Aina rela melakukan hal pertama yang diperintahkan oleh si Mbah : Lompat tali 100 kali lompatan di taman. Memang, terdengar gila. Semua orang yang mengunjungi taman itu tidak ada yang berolahraga. Kebanyakan piknik, berpacaran, foto-foto, atau sekadar mengobrol. Tidak ada yang berolahraga sepertinya, sama sekali tidak ada dan hanya dirinya seorang. Hal itu membuat semua orang melempar pandangan aneh ke arahnya. Tapi Aina tidak peduli. Ini semua demi cintanya, ia tidak peduli kalau ia harus dikatakan orang gila oleh orang-orang di sekelilingnya. Lagipula, ia tidak mengenal orang-orang ini.
”99….100!” Tanpa sadar Aina terpekik saat ia berhasil menyelesaikan lompatan terakhirnya, lompatan ke-10. Ia terduduk lemas, terjatuh di atas rerumputan hijau. Ia melonjorkan kakinya yang terasa sangat pegal dan nyeri sehabis melakukan 100 kali lompatan.
”Aina?”
Aina mengernyit. Ia menghentikan aksinya yang sedang asyik meneguk air mineral dingin di dalam botol minumannya. Ia mengangkat wajahnya, dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat sosok yang ia kenal berdiri di belakangnya, memandangnya dengan tatapan aneh.
Aiden. Seorang cowok jenius tapi dingin seperti es di kampusnya. Cowok itu mengenakan kaus merah dan celana jins hitam, dengan headphone terpasang di telinganya, dan tangannya menggenggam buku tebal bertuliskan Inovasi Rasa Pangan Nan Sehat di sampul depan buku itu. Aiden memang anak teknologi pertanian, teknologi pangan.
Aina mengaduh dalam hati. Oh, tidak….mengapa harus bertemu dengan cowok ini di sini dalam keadaan seperti ini?
”Lo ngapain?” tanya Aiden memandangnya aneh sambil mengernyit, ”Lo mau olahraga, kok, di taman rekreasi?”
Aina buru-buru bangun dan mengusap celana bagian belakangnya yang kotor karena dirinya duduk di atas rerumputan tadi. ”Suka-suka gue, dong!” Ia langsung berlalu pergi meninggalkan Aiden yang bengong.
Sebenarnya, ada satu kisah masa lalu antara dirinya dengan Aiden. Ia dulu waktu SMA sempat suka dengan cowok itu, bahkan sampai Aiden tahu. Ternyata, mereka kuliah di kampus yang sama. Bedanya, Aiden anak Food Tech sedangkan dirinya adalah jurusan Bio Tech. Bedanya lagi, Aiden itu sangat pintar bahkan jenius, sedangkan dirinya adalah satu-satunya mahasiswa di fakultasnya yang masih belum pintar melakukan persilangan DNA dan menentukan fenotip maupun genotip.
Jadi kalau ketemu Aiden, ia sangat malu. Apalagi tadi. Aiden pasti merasa dirinya hina sekali karena telah disukai oleh dirinya…


****


”Apa aja tadi?” Sisil menajamkan pendengarannya. Ia mendekatkan telinganya kepada Aina, berusaha mendengar lebih jelas.
”Harus, ya, gue jabarin lagi? Panjang, capek tau….” rengek Aina.
Sisil mendecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya, memandang Aina tidak percaya. ”Sekarang jaman dan abad berapa, sih? Lo masih percaya ama ramal-ramalan kayak gitu? Cinta itu datang sendiri, Aina! Emangnya cinta bakal dateng kalo lo lompat tali, makan mie ayam, sama mandi hujan? Terus apa lagi…? Berdiri di tengah jalan sama jalan mundur? Yang ada bukannya dapet cinta malah mati, Aina!” Ia menepuk jidat sahabatnya itu, ”Sekalian aja lo mandi kembang tujuh rupa atau uji nyali di kuburan! Siapa tahu dapet jodoh makhluk halus!”
Aina menoel kepala Sisil, ”Amit-amit cabang bayi!”
”Ya, udah, Aina! Lo itu pikirannya terbelakang, ya, gara-gara depresi nggak dapet pacar!?”
Aina mengerang kesal, jenuh. ”Sisil lo nggak ngerti gimana rasanya jadi gue! Gue itu dikutuk biar nggak bisa dapet pacar! Udah berapa kali lo pacaran?”
Sisil tampak menghitung, kemudian ia menjawab dengan polos, ”Sejauh ini, sih, sembilan.”
Aina menganga, lalu ia mengaduh.
”Tapi bukan berarti…”
”Lo mau ngomong sampe mulut berbusa, gue tetep ngelakuin apa yang si mbah bilang. Siapa tau emang semua itu manjur….”


****


Tahap kedua : Makan mie ayam lima mangkok.
Karena ini, Aina rela tidak makan dari siang agar kelaparan. Jadi, pas malam, ia bisa makan lima mangkok sekaligus. Biasanya, makan satu mangkuk sudah kenyang sekali. Apalagi lima?
Ia sengaja mencari dagang mie ayam agak jauh dari rumahnya, yang memang tempat favoritnya. Kalau mienya enak dan favoritnya, siapa tau ia bisa habis lima mangkuk sekaligus. Ia sengaja memakai switer dengan kerudung dan kacamata hitam, agar tidak ada yang mengenalinya dan agar ia tidak merasa malu memesan lima mangkuk mie ayam sekaligus.
Benar saja, si pedagang mie langsung memandangnya bingung ketika ia memesan lima mangkuk padahal ia hanya sendiri. Di tempat yang sempit dan ramai itu, Aina duduk sendiri dengan lima mangkuk mie ayam plus pangsit goreng terhampar di atas meja di hadapannya.
Ia bisa merasakan beberapa orang memandanginya dan berbisik membicarakannya, tapi ia tidak peduli. Ia telah mengenakan switer dengan kerudung dan kaca mata hitam. Tidak akan ada yang mengenalinya.
Satu mangkuk….habis.
Dua mangkuk….habis.
Tiga mangkuk…agak mual.
Empat mangkuk….mual sekali.
Lima mangkuk….ia menghabiskannya hampir setengah jam saking kenyangnya.
”Udah kenyang, Mbak?” tanya si pelayan kedai mie. Ia merapikan mangkuk demi mangkuk mie yang kini bersisa saus.
Aina tidak dapat menjawab, jadi ia hanya mengangguk saja.
”Badan kurus, kok, makan kayak serigala gitu…” gumam pelayan itu sambil berlalu pergi membawa kelima mangkuk yang sudah dilahap habis isinya oleh Aina.
Ia pun membayar, dan si kasir yang juga sekaligus pemilik kedai mie memberikannya diskon karena telah memesan lima mangkuk sekaligus dan menghabiskannya sendirian!
Aina keluar dari kedai mie yang semakin malam semakin ramai itu, karena kelezatan mienya. Ia melepaskan kerudung switer dan switernya, merasa sangat kepanasan. Tadi di dalam ia harus menahan panas akibat switer ini. Ia pun juga melepas kaca matanya.
”Lo suka mie ayam, ya? Atau udah nggak makan setahun?”
Aina terperanjat mendengar suara orang yang ia kenal. Sontak ia menoleh ke samping dan ia sangat, sangat, terkejut melihat Aiden berdiri di sampingnya dengan cuek mengamati jalanan kota Jakarta yang ramai malam itu.
Entah mungkin karena ini kutukan cinta atau Aiden terus menguntitnya, tapi mengapa Aiden harus ada di sini!? Pasti cowok itu sudah mengenalinya dari awal!
Aiden mendekati Aina dan menepuk bahunya, ”Lo hebat. Gue belum tentu bisa makan mie sebanyak itu.” Ia tersenyum dan mengedikkan bahunya, lalu berlalu pergi.
Sepeninggal Aiden, Aina masih melongo tidak percaya.
Aiden ternyata bermulut ember. Besoknya di kampus, setiap orang melihat Aina sambil tertawa dan berbisik-bisik. Aina yakin sekali mengapa mereka bersikap seperti itu. Semua pasti karena Aiden telah membeberkan dirinya makan mie ayam lima mangkuk!
Karena kesal, Aina menghampiri Aiden di perpustakaan saat mata kuliahnya kosong.
”Heh!” Aina menggebrak meja Aiden, tidak peduli saat itu perpustakaan ada banyak mahasiswa yang belajar atau sekadar mengerjakan tugas.
”Lo emang cakep, jenius, tapi ember! Perlu banget, ya, beberin ke semua orang kalo gue makan mie ayam lima mangkok!?”
Aiden mengangkat wajah dari kamus bahasa Perancis-Indonesianya dan menatap Aina bingung.
”Dasar mulut ember! Cakep-cakep tapi ember! Nyesel gue udah suka ama lo, tau!” Aina buru-buru pergi dari perpustakaan. Alasan pertama, karena rasa kesalnya sudah terlampiaskan. Alasan kedua, karena sedari tadi penjaga perpusatakaan melempar tatapan garang ke arahnya karena ia adalah sumber keributan.
”Lo gila, kali, Na. Apa terlalu naif?” Sisil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. ”Mereka itu menertawakan elo bukan  karena lo makan mie ayam lima mangkok tau! Tapi itu semua karena lo salah make sepatu! Liat aja sepatu lo!” seru Sisil ketika Aina menceritakan keganjalan di dalam hatinya.
Aina buru-buru melihat kakinya. Oh tidak….ia kini mengerti mengapa teman-temannya menertawakan dirinya. Bagaimana tidak!? Kaki kirinya mengenakan flat shoes berwarna biru tua sedangkan kaki kanannya memakai flat shoes cokelat dengan pita krem. Jelas saja semua pada tertawa! Ternyata ia salah memakai sepatu dan hal itulah yang membuat semua orang tertawa….jadi, bukan gara-gara makan mie ayam lima mangkuk? Jadi, tidak ada yang tahu hal itu? yah, kecuali ia, Aiden, dan Sisil tentunya.
”Lagian, Aiden nggak mungkin seember itu. Pasti bagi dia itu bukan hal yang penting, Aina. Gue yakin dia nggak mungkin buang-buang waktu ngasih tau ke semua orang tentang lo. Aiden itu cowok baik! Lo harus minta maaf, tuh!” saran Sisil.
Bahu Aina lunglai lemas. Bagaimana caranya minta maaf ke Aiden kalau ketemu orangnya saja ia malu?


****


Tahap ketiga : Mandi hujan jam 11 malam.
Hal ini agak sulit dilakukan, karena Aina harus menunggu kapan hujan datang, baru ia mandi hujan di bawahnya.
Setelah menunggu dan meratapi langit di jendela kamarnya selama sekitar empat hari, pada akhirnya di hari kelima hujan datang juga. Aina berdoa agar hujannya tidak reda sampai jam 11 malam. Ketika sudah pukul 10.45, ia cepat-cepat mengambil jas hujan berwarna kuningnya dan keluar rumah.
”Eh, mau kemana Aina?!” Mamanya memekik kaget melihat Aina turun dari lantai atas dan melesat ke luar rumah. ”Di luar hujan deras, lho!”
Tapi, Aina tidak menggubris kata-kata mamanya.
Di luar sangat dingin, apalagi ketika ia merasakan air hujan yang deras dan dingin itu mengguyur dan membasahi tubuhnya. Dinginnya terasa menusuk tulang dan membuatnya nyeri, walaupun ia mengenakan jas hujan.
Dalam hatinya, Aina benar-benar berharap rentetan hal aneh yang ia lakukan ini berguna. Ia melakukan semua ini demi cinta, demi cinta….
Perlahan Aina mulai menggigil kedinginan, berdiri di tengah jalan kompleks rumahnya di bawah hujan. Mungkin kalau ada yang melihatnya, ia akan dicap sebagai orang yang telah kehilangan kewarasannya demi cinta.
Tapi memang ia telah kehilangan kewarasannya karena cinta.
Ketika ia menggigil kedinginan sambil memeluk tubuhya dan memejamkan mata, ia merasakan ada sinar terang yang menyilaukan matanya. Ia membuka matanya dan terpekik kaget melihat mobil CRV hitam berhenti tepat di hadapannya. Rasanya ia mendengar klakson  mobil tadi.
Si pemilik mobil tak lama kemudian keluar.
”Astaga naga ini orang lagi!”
Aina yang kedinginan mengangkat wajahnya untuk melihat orang itu. Apakah ia tidak salah lihat? Aiden-kah yang berdiri di hadapannya kini?
”Lo gila, ya?” Aiden memayungkan Aina. Aina melihat tubuh Aiden sudah agak basah.
Aina menepis tangan Aiden yang memegangi payung untuknya, ”Gue mau hujan-hujanan!””Lo boleh sinting, tapi jangan keterlaluan, dong!” rutuk Aiden kesal. ”Ini udah jam 11 malem, ujan deres, lo berdiri di tengah jalan lagi! Hampir aja gue nabrak elo!” Ia mengeraskan suaranya untuk mengalahkan suara hujan yang deras.
”Lo ngapain di sini?” tanya Aina dengan bibir yang bergemetar.
”Itu rumah sepupu gue. Udahlah, nggak penting! Lo masuk sana!”
Aina tidak lagi mendengar kata-kata Aiden. Yang ia tahu selanjutnya pandangannya gelap.


****


”Aduh…badan lo panas banget!” Sisil menempelkan tangannya ke dahi Aina dan bergidik khawatir. ”Lo beneran hujan-hujanan, ya, kemarin? Sampe sakit begini, pake pingsan lagi…”
Aina mengangguk sambil meneguk teh hangat yang ia pesan di kantin kampus. Kemudian ketika ia mengangkat wajahnya, ia melihat Aiden duduk di pojok kantin sambil meneguk teh hangat yang sama dengan yang dipesannya. Wajah Aiden pucat dan wajahnya yang putih itu menjadi kemerahan. Sepertinya dia sakit dan flu. Apa gara-gara kemarin hujan-hujanan? Gara-gara dirinya, dong!?
Aina bangkit dari kursinya dan menghampiri Aiden.
”Aiden…makasih, ya, semalem. Lo udah bantu gue pas pingsan. Sekarang lo sakit karena hujan-hujanan kemarin. Maaf…” Aina melanjutkan lagi, ”maaf juga karena waktu itu gue maki-maki lo di depan orang banyak. Gue salah kira, maaf, ya.”
Aiden mengangkat wajahnya. Ia menatap Aina tajam, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merapikan buku-bukunya yang tertumpuk di atas meja dan hendak berlalu.
”Eh, Aiden, tunggu dulu!” Aina menahan Aiden, ”Kemarin lo, kok, bisa kebetulan di kompleks perumahan gue?” Aina tidak dapat memungkiri kalau selalu ada Aiden di setiap hal aneh yang ia lakukan. Masa sih, semua itu kebetulan?
”Kan gue udah bilang kemaren, gue mau ke rumah sepupu gue yang ternyata deketan sama kompleks perumahan elo!” sungutnya kesal, ia terbatuk beberapa kali. ”Malah gue sial pas mau ke rumah sepupu gue!”
Setelah itu, ia berlalu pergi.


****


Tahap keempat : Berdiri di tengah jalan selama 20 detik.
Catatan si mbah : harus dilakukan di depan orang banyak.
Otomatis, Aina melakukannya di pelataran parkir kampus, dimana mobil dan motor sering lalu-lalang. Di antara semuanya, ini yang paling membahayakan!
Ia berdoa dulu sebelum melakukan ritual yang keempat, juga disertai dengan doa-doa dari Sisil yang mulutnya terus berkomat-kamit.
Aina pun berdiri di tengah jalan dan mulai menghitung. Ia berharap waktu cepat berlalu, tapi sepertinya waktu kini tidak mau berteman dengannya. Entah kenapa waktu sungguh lambat berjalan. Rasanya 20 detik saja lama sekali!
Aina memejamkan matanya dan mulai menghitung. 1….2….5…7… ia mulai mendengar suara motor membunyikan klakson. 8….9…12… ”Woi, gila lo, ya!?” beberapa orang mulai meneriakinya. 13….16….17….kini suara mobil yang mulai mengklakson dirinya. Aina sudah hampir pergi beranjak dari situ, tapi tanggung! 3 detik lagi! 18…19….dan akhirnya….20!
Cepat-cepat Aina membuka matanya dan berlalu dari tengah jalan. Sisil langsung menyambutnya penuh bahagia dan rasa syukur. Aina tertawa geli, lalu pandangannya tiba-tiba menangkap sosok Aiden yang sedang berdiri di samping pintu mobil CRV-nya. Aina merasa cowok itu tadinya hendak masuk ke dalam mobil namun mengurungkan niatnya karena terpana melihat aksi gila Aina barusan.
Aina menelan ludah, apalagi ketika melihat cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum masuk ke dalam mobilnya.
Aiden pasti mengira dirinya sudah benar-benar gila sekarang.


****
”Oke, ini tahap terakhir.”
Aina berkata pada dirinya sendiri. Ia menatap kertas note berwarna kuning yang berada di genggamannya. Di sana sudah tertulis Lima Langkah Menuju Cinta tulisannya, dan langkah-langkah yang harus ia lakukan untuk mendapatkan cinta. Langkah yang sudah ia lakukan ia coret dengan tinta merah.
Kini tinggal nomer lima yang belum ia coret. Langkah terakhir : jalan mundur 100 langkah.
Aina tersenyum lebar dan  memasukkan kertas itu ke dalam saku celananya. Sebentar lagi ia akan mendapatkan pacar! Cinta akan datang padanya!
Aina memutuskan untuk jalan di koridor kampus saja. Ia pun mulai menghitung.
”Satu…..” Ia mulai berjalan, ”Empat….”
Rasanya seru sekali berjalan tapi kita tidak tahu apa yang akan menanti kita ketika kita berjalan, seperti berjalan mundur yang sedang ia lakukan saat ini! Cukup lama ia berjalan mundur. Untung saja ia sudah hafal benar letak dan tata ruang kampusnya, jadi ia bisa mengira-ngira agar tidak menabrak sesuatu.
”lima puluh delapan….lima puluh sembilan…”
”Na, lo ngapain?” Teman-temannya mulai melempar pandangan aneh ke arahnya. Tapi Aina tidak peduli. Misinya sudah hampir berhasil sebentar lagi!
”Tujuh puluh sembilan…delapan puluh…”
Semua demi cinta! Semua demi cinta!
”Sembilan puluh delapan….sembilan puluh sembilan…” Aina berusaha mengumpulkan nafasnya, ”seratus!”
Aina melompat-lompat kegirangan, ”Yeay! Seratus! Gue berhasil! Misi gue selesai! Cinta bakal dateng ke gue! Gue bakal punya pacar! Horeeee!!”
Kemudian, ada seseorang yang menarik bahunya dari belakang. Aina terhenyak ketika melihat Aiden berdiri di belakangnya. Semenjak kapan cowok itu berdiri di belakangnya? Apakah…Aiden mendengar kata-katanya tadi?


****

”Oh, jadi gitu ceritanya.” Aiden melempar pandangan ke luar mobil. ”Jadi lo lakuin semua itu demi cinta?” tanya Aiden, kini menatap Aina.
Aina mengangguk dan diam-diam melirik Aiden, dengan perasaan agak malu. Tadi, cowok itu memaksanya untuk cerita mengapa belakangan ini ia menjadi aneh. Aina terpaksa cerita, karena Aiden mengancamnya. Cowok itu bilang dirinya sakit karena Aina, dan Aina dipaksa bertanggung jawab atas kesehatannya kalau ia tidak mau cerita yang sebenarnya.
Dengan sangat amat terpaksa, Aina membeberkan yang sebenarnya.
Dan ternyata Aiden tidak terlalu terkejut. Aina menduga Aiden sudah tahu kalau dirinya aneh, jadi ia tidak akan terkejut ketika mengetahui semua ini.
”Gue balik duluan, deh, ya. Gue mau ke tempat si mbah. Kan misi gue udah selesai semua, gue mau nanya apa lagi yang akan terjadi sehabis ini.” Tutur Aina hendak membuka pintu mobil.
Aiden menahannya, ”Ya udah, gue anterin.”
Aina melongo sambil memandang Aiden tidak percaya. ”Hah? Lo mau nganterin gue?”
Yang benar saja, belum pernah Aina mendengar cowok setampan, sekeren, sejenius, dan sekaya Aiden menggaet cewek apalagi membiarkan seorang cewek duduk bersamanya di dalam mobilnya.
Apakah….dirinya…yang pertama?
Astaga. Aina bisa merasakan pipinya merona merah. Oleh karena itu, ia membiarkan Aiden mengantarkannya ke tempat si mbah. Sepanjang perjalanan hatinya begitu berdegup kencang, apalagi ketika matanya mencuri pandang ke arah Aiden yang fokus menyetir. Gayanya itu loh, keren banget!!!!!
”Nah, itu tempatnya!” seru Aina.
Aiden memberhentikan mobilnya di sebuah kompleks pertokoan yang sudah agak tua. Ia memandang ruko usang yang ditunjuk Aina dengan pandangan mengernyit.
”Lo mau curhat dan minta ramalan soal cinta di rumah berhantu?” tanya Aiden polos.
Aina merengut, ”Emang, sih, tempatnya kayak begini…tapi kan yang penting dia bener-bener peramal!”
Aiden diam saja.
”Lo mau tunggu di mobil, langsung pulang, atau mau ikut gue turun?” Aina  mengira Aiden akan memilih pilihan kedua. Tapi ternyata, Aiden malah memilih pilihan ketiga!
Ketika Aina masuk ke tempat si madam, atau si mbah, ia tidak melihat ada tanda-tanda si mbah yang seingatnya berpenampilan begitu menyeramkan. Yang ada malah seorang wanita seperti gipsi yang memakai terusan biru dengan manik-manik emas, dengan tangan penuh gelang emas dan perak, jari penuh cincin bermata berlian, dan kerudung biru yang  menutupi rambut hitam tebalnya.
”Apa?” tanya Madam Lorraine ketika Aina menuturkan ceritanya. ”Maaf, mungkin Anda salah tempat. Saya sempat menutup tempat ini selama satu bulan, dan baru buka kembali kemarin lusa.”
Aina terperanjat. Ia membulatkan matanya, ”Nggak mungkin, Madam! Waktu itu…” Aina mengingat-ingat, ”waktu itu yang meramal saya bukan madam, tapi pria kurus yang ringkih…kulitnya hitam…”
Madam Lorraine tampak mengingat-ingat, kemudian ia menjentikkan jarinya setelah ia merenung selama beberapa menit. ”Astaga…itu kakak tiri saya! Dia sempat masuk rumah sakit jiwa, dan memang ia tinggal di sini bulan lalu. Apakah mungkin….”
Aina melemaskan tubuhnya yang sedari tadi tegang. Ia tidak percaya semua ini. Jadi selama ini ia telah ditipu oleh…pasien rumah sakit jiwa yang masih tetap gila? Jadi ia melakukan hal-hal aneh yang gila dan hampir membahayakan dirinya, gara-gara ia percaya dengan ramalan si pria gila itu? Jelas saja pria gila itu menyuruhnya melakukan hal-hal yang gila, dia sendiri juga gila! Pantas Aina merasa ada sesuatu yang ganjil ketika pertama kali ia melihat si ‘mbah’ yang ternyata peramal palsu dan gila itu.
”Maafkan kakak tiri saya, ya, Aina. Sekarang dia sudah dikembalikan ke rumah sakit jiwa.” Madam Lorraine, yang Aina harapkan adalah peramal yang asli, tersenyum memandangnya. Ia sungguh berbeda dengan si ‘mbah’ palsu yang menyeramkan kemarin.
”Berarti saya nggak akan bisa ketemu cinta saya, Madam? Saya nggak akan dapet pacar? Padahal saya  udah berkorban dan melakukan hal-hal ekstrem yang gila untuk mendapatkan cinta…” Harapan Aina kini sudah sirna dan buyar semua. Untung saja ia datang ke sini hari ini, kalau tidak…ia tidak dapat membayangkannya. Bisa-bisa ia terbayang-bayang dan depresi karena cintanya tetap tak kunjung datang!
Madam Lorraine tersenyum misterius dan Aina yakin ia sempat melirik Aiden, ”Tenang saja. Cintamu sudah ada dari dulu, tapi kamu tidak menyadarinya.”
Aina mengernyit. Secercah harapan kembali muncul di dalam hatinya, ”Masa, sih, Madam!?”
Madam Lorraine mengangguk sambil tetap tersenyum, ”Untuk apa mencari yang tidak ada kalau yang sudah ada berdiri dengan jelas di hadapanmu?”


****


”Gue nggak terlalu ngerti kata-kata Madam Lorraine tadi.” Kata Aina memecah keheningan antara dirinya dan Aiden saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Aiden diam saja dan menyalakan mesin mobil, ia mulai menjalankan mobilnya.
”Gue juga nggak nyangka kalau selama ini gue udah ditipu sama orang gila. Gue rela melakukan hal-hal aneh yang bisa membuat gue mati, mati karena malu dan juga mati beneran, hanya karena ramalan palsu!? Oh  my God….”
”Makanya, udah jaman berapa lo masih percaya ramalan. Lagian lo konyol banget, sih, cinta pake dicari-cari?”
”Gue itu pengen punya cerita cinta kayak putri dongeng…gue depresi nggak dapet-dapet pacar. Makanya gue ke dukun cinta. Eh, akhirnya kayak gini. Aahh, semua yang gue lakuin percuma! Sia-sia!”
Aiden terdiam saja.
Aina juga ikut diam.
”Nggak sia-sia, kok.” Aiden menghentikan mobilnya di pinggir jalan. ”Gue sering ke sini kalo lagi kesel. Mau turun nggak?”
Aiden ternyata mengajaknya berjalan di jembatan dekat taman buatan. Di bawah jembatan itu, ada sungai buatan yang airnya cukup jernih. Banyak juga orang yang menghabiskan waktu di sini. Dan Aina mengerti mengapa Aiden gemar datang ke tempat ini. Ternyata anginnya sejuk dan begitu menenangkan hati.
Tapi Aina tidak pernah menyangka Aiden akan mengajaknya ke sini, ke tempat favorit cowok itu. Aina jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah sudah ada cewek yang diajak Aiden ke tempat ini sebelumnya?
”Maksud lo tadi, nggak sia-sia…apaan?” tanya Aina.
Aiden diam sebentar sebelum menjawab, ”Lo ngelakuin semua itu nggak sia-sia, kok. Gara-gara itu…” Aiden menelan ludah, ”lo jadi deket sama gue kan?”
Aina tersentak, tidak menyangka Aiden akan mengatakan hal itu.
”Aiden….”
”Gue tahu itu semacam kebetulan belaka, tapi gue merasakan yang beda.” Tutur Aiden sambil memandang pemandangan di hadapannya, entah mungkin karena tidak mau memandang Aina.
”Lo tahu  kan gue pernah suka sama lo waktu SMA?” tanya Aina.
Aiden mengangguk pelan.
Aina mendesah dalam hati. Ia merasa sedikit malu. Benar ternyata dugaannya kalau Aiden sudah tahu.
”Apa sampai sekarang?” tanya Aiden.
Aina tergagap, ”Hah?”
”Lo sekarang masih suka sama gue atau nggak?” tanya Aiden lagi, kini memandang Aina.
Aina menjadi salah tingkah ditatap seperti itu oleh Aiden. Jujur? Sejujurnya, ia masih menyukai Aiden. Tapi kedinginan cowok itu membuatnya merasa tidak mungkin mengejar cintanya kepada Aiden.
”Gue nggak tahu gimana perasaan lo ke gue. Kita bahkan jarang bicara sebelum kejadian ini kan?” Aina mendesah, ”Itu yang bikin gue nggak pernah berani maju deketin elo.”
”Lo kan nggak pernah nanya, gimana lo mau tahu jawabannya?” Aiden melempar pandangan ke arah lain lagi.
”A…apa?”
”Lo nggak pernah nanya ke gue kan apa gue suka sama lo atau nggak, gimana lo mau tahu jawabannya kalo lo nggak nanya?” Aiden mengulangnya lagi.
Aina memandang Aiden tidak percaya, ”Aiden…”
”Kayaknya lo udah ngerti, deh.” Aiden melirik Aina, ”Sebenarnya cara-cara itu ampuh, lho. Lo-nya aja yang nggak nyadar. Sebenarnya cara itu sudah berhasil, bahkan sebelum lo melakukannya.”
Mungkin ada guntur yang menyambar hati Aina saat itu, karena ia baru saja tersadar.
Semenjak hal gila dan aneh yang ia lakukan di taman, ia bertemu dengan Aiden. Seterusnya, selalu ada Aiden di setiap hal yang ia lakukan. Lalu ia teringat kata-kata Madam Lorraine…
”Tenang saja. Cintamu sudah ada dari dulu, tapi kamu tidak menyadarinya. Untuk apa mencari yang tidak ada kalau yang sudah ada berdiri dengan jelas di hadapanmu?”
Aina melirik Aiden dan seulas senyum sumringah perlahan merekah di bibirnya.
Selama ini…Aiden selalu ada di depannya. Tapi ia hanya tidak menyadarinya, ia tidak mengetahui maupun menduganya, karena ia tidak berani untuk bertanya. Padahal Aiden dengan jelas berdiri di depan matanya, tapi ia malah mencari yang tidak ada! Seperti pribahasa saja! Gajah di depan mata tidak dilihat tapi semut di seberang malah dicari dan dilihat!Jadi…selama ini…ia tidak melakukan hal-hal gila itu secara sia-sia? Rasanya orang gila itu memang berbakat menjadi peramal cinta. Gara-gara rangkaian hal itu, ia menjadi dekat dengan Aiden. Benar juga.
Tapi apakah…yang Aiden rasakan? Apakah benar dugaannya kalau Aiden juga menyukainya? Pipi Aina merona merah.
”Mau makan mie ayam kesukaan lo nggak? Yang lo makan lima mangkok itu,” ajak Aiden.
Lamunan Aina terbuyar, ia baru sadar ia belum makan.
”Ayo! Gue juga laper!” Tapi Aina buru-buru tersadar, ”Eh…kok lo tahu itu tempat makanan favorit gue?”
Aiden tersenyum kecil, senyum yang misterius, sambil berjalan di depan Aina.
”Aiden, tungguin gue, dong!” Aina mengejar sosok Aiden yang sudah berjalan beberapa langkah lebih maju dibandingkan dirinya.
Langkah? Aina tersenyum dalam hati, melonjak kegirangan. Semua yang penuh pengorbanan memang tidak pernah berakhir sia-sia!
Cinta akhirnya datang padanya!
”Aiden, gue datangggg!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”






(image source : google)

No comments:

Post a Comment

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com