Yang Tak Terlihat



Yang Tak Terlihat
(The Invisible One)




Malam disertai hujan lebat dengan angin kencang yang dapat meluluh-lantahkan pepohonan, dan kadang beberapa kali guntur menyambar memekakkan telinga. Jalanan begitu sepi, sangat kontras dengan gelapnya malam yang ramai karena bunyi hujan yang begitu keras. Tidak ada yang mau menghabiskan malamnya dengan berjalan di jalanan yang sepi dan agak gelap itu. Kebanyakan orang memilih untuk berteduh di dalam rumah, menghangatkan diri dari dinginnya malam yang begitu menusuk tulang.
Kemal melirik jam dinding yang terpasang di tembok bercat putih gadingnya. Jam sebelas malam. Ia pelan mendesah, begitu berat, seakan dengan desahan itu beban di pikiran dan di hatinya dapat musnah seketika. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan, lalu memijit pelipisnya dengan jemari telunjuk dan ibu jari. Seandainya saja beban pikiran dan beban di hatinya ini dapat bisa dengan mudah terenyahkan. Merasa peningnya tak kunjung hilang, ia merapatkan sweter agak tebal berwarna merah-putih dengan huruf K di sisi kiri bagian depannya.
Ia telah mencoba untuk tidur, namun tidak bisa. Di rumah ini semua begitu sunyi, begitu sepi, apalagi hanya ditinggali sendiri olehnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel rumah. Bulu kuduk Kemal meremang. Ia bangkit berdiri dari duduknya, dan melangkahkan kakinya yang terasa berat itu menuju pintu utama. Hatinya bertentangan dengan niatnya untuk membuka pintu itu. kini malam mulai larut, di luar hujan begitu deras dan jalanan sangat sepi, siapa pula yang berkunjung malam-malam begini, di tengah hujan pula?
Ia mempersiapkan dirinya sebelum membuka pintu utama yang besar dan dikunci rapat itu. Dan setelah ia merasa siap, ia membuka kuncinya perlahan dan membiarkan tangannya membuka salah satu sisi pintu itu.
Ia sudah mengetahui apa yang akan dilihatnya. Ia sudah menduga dan mencurigainya. Seperti apa kata paranormal, sekaligus temannya, yang lebih dahulu mengetahui apa yang akan datang padanya. Kata-kata paranormal yang juga merupakan temannya itu, ia masih ingat dengan benar dan jelas. Tiga hari yang lalu, lebih tepatnya.
”Dia bakal dateng, Kem. Dia memiliki urusan yang belum selesai,” Agung berkata. Ia melepas kacamatanya, lalu mengusap matanya.
”Urusan yang belum selesai?” Kemal berkata dengan membulatkan matanya, ”Urusan apa yang belum selesai?”
”Urusan sama elo, Kem!” Agung melempar pandangan pada Kemal, ”Lo harus bantu dia mengingat siapa dia, lo harus membuat dia bisa menyelesaikan urusannya.”
Kemal terdiam. Ia kemudian memberanikan diri untuk bertanya, ”Kapan...dia akan datang?”
”Gue nggak tahu dengan pasti,” Agung menepuk pundak Kemal, ”Tapi, yang pasti....secepatnya.”
Kata-kata dan peringatan Agung sudah membuatnya mempersiapkan dirinya matang-matang, selama tiga hari. Karena tidak tahu kapan tepatnya ‘dia’ akan datang, Kemal selalu bersiap siaga setiap malam, bertanya dan memikirkan kapan tepatnya si ‘dia’ akan datang. Apakah malam ini? Apakah malam ini? Pertanyaan itu terus yang menghentak-hentak di dalam pikirannya.
Dan jawabannya adalah malam ini. Malam setelah tiga hari yang lalu Agung memperingatkannya.
Kemal tidak menyangka ia akan melihat hal ini dengan mata kepalanya sendiri. Otaknya berusaha untuk menyadarkannya, sementara hatinya sangat nyeri melihat seseorang yang berada di hadapannya. Bulu kuduk Kemal bangkit dan tubuhnya meremang, terpaku, berdiri beku bagaikan batu. Matanya membulat, dan seluruh tubuhnya bergemetar.
Seorang gadis bertubuh agak tinggi dengan tubuh kurus berdiri di hadapannya, di teras rumahnya, di ambang pintunya. Gadis itu mengenakan terusan berwarna cokelat halus bermotif bunga-bunga. Rambutnya hitam, dan sebenarnya tebal. Hanya saja karena sedang basah, rambut itu kelihatan lepek dan tipis. Gadis itu basah kuyup, pasti karena terguyur hujan. Ia tidak mengenakan alas kaki, sepatunya hilang entah kemana. Kakinya kotor, penuh dengan cairan coklat, tanah yang terkena air hujan. Air bekas hujan menetes dari rambutnya, membasahi lantai teras rumah Kemal. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menghangatkan tubuhnya, tapi ia terus menggigil kedinginan.
Kemal menatap bibir tipisnya yang berwarna keunguan dan agak kering, menandakan ia begitu kedinginan. Wajahnya pucat pasi, sangat pucat seperti mayat.
Gadis itu menatap Kemal. Kemal menatap matanya, dan hatinya kemudian terasa teriris ketika ia mengenali sepasang mata itu. Sepasang mata indah dengan ujung tajam melekuk ke atas, bulu mata lentik yang tebal, bola mata hitam yang mengkilap dengan indah.
”Per....misi,” gadis itu berkata dengan gemetar, ”bisa saya masuk? Saya sangat kedinginan di luar sini.”
Kemal mengangguk pelan, membiarkan gadis itu memasuki rumahnya. Gadis itu pun duduk di sofa ruang tamu. Kemal membiarkan air di tubuh gadis itu membasahi sofanya, dan ia juga tidak memedulikan jejak kaki berwarna coklat yang mengecap di lantai rumahnya.
”Akan...aku ambilkan handuk hangat, sama teh hangat.” Kemal berkata dengan getir, ”Sebentar.”
Sepeninggal Kemal, gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang tamu. Tak ada foto-foto. Aneh. Tapi walau bagaimana pun, ia kini jauh merasa lebih hangat dibandingkan saat di luar tadi. Hujan juga perlahan sudah agak reda.
Kemal tak lama kembali dengan handuk berwarna krem yang agak tebal, dan cangkir putih berisi teh hangat dengan asap yang mengepul. Kemal mengalungkan handuk lebar tebal itu ke tubuh gadis tersebut, dan ia mempersilakan gadis itu menyeruput teh hangatnya, untuk sekadar menghangatkan tubuh dari dalam.
Kemal pun duduk di seberangnya.
”Nama...” ia menelan ludah, berusaha menahan ketakutannya. ”namamu siapa?”
Gadis itu berdeham dan meletakkan cangkir di atas mejanya, ”Entahlah. Aku tidak terlalu ingat. Sepertinya...namaku...” Ia memicingkan matanya, tampak berusaha untuk mengingat. ”Flo.”
Ia berbicara lancar, batin Kemal. Tampak begitu nyata, pikirnya lagi.
”Bagaimana kamu bisa berada di luar sana? Di tengah malam seperti ini, hujan deras pula?” tanya Kemal, sudah mulai terbiasa.
Flo, gadis berwajah oriental namun pucat itu, mengangkat bahunya. ”Entahlah. Aku tiba-tiba terbangun, seperti sehabis tidur panjang, di sebuah pos...sepertinya pos satpam, dekat rumahmu. Aku berjalan bingung, di tengah hujan deras, dan akhirnya aku menemukan rumah yang paling dekat dengan pos itu. Rumahmu.”
Kemal mengangguk pelan.
”Maaf...kalau aku mengotori rumahmu, mengganggumu dan orang rumahmu. Aku tidak tahu lagi harus kemana.” Flo berkata lagi.
”Ah, aku tinggal sendiri di rumah ini, tidak apa.” Kemal memaksakan seulas senyum, ”Apa...kamu tidak tahu dimana rumahmu?” tanyanya lagi.
Flo menggeleng, ”Aku tidak tahu apa-apa, kecuali namaku. Entah mengapa hanya itu yang aku bisa ingat. Aku juga tahu....ada sesuatu yang menarik diriku berjalan ke arah sini, tapi aku tidak tahu apa itu.”
Kemal terdiam. Ia tahu alasannya.
”Maaf...namamu....siapa?” tanya Flo, menunjukkan seulas senyum pada Kemal.
Senyum itu...Kemal membatin sedih. Senyuman yang ditunjukkan oleh Flo membuat hatinya bergetar. Matanya berkaca-kaca, betapa ingin ia merengkuh tubuh Flo dan memeluknya. Tapi ia tidak bisa. Belum bisa.
”Halo?” Flo menelengkan kepalanya pada Kemal, bingung dengan cowok itu yang tiba-tiba melamun.
Kemal tersentak, ”Ah....maaf.” Ia tersenyum, ”Namaku Kemal.”
Flo mengangguk mengerti.
”Kalau kamu tidak tahu rumahmu di mana....kamu bisa tinggal di sini, selama beberapa waktu. Tenang saja, aku tidak akan berbuat yang macam-macam.”
”Benar?” Flo membulatkan matanya. ”Aku bisa tinggal di sini selama sementara waktu?”
Kemal mengangguk, berusaha mempersiapkan dirinya. Ia memandang Flo yang tampak hidup, duduk di hadapannya. Ia berusaha untuk meyakinkan dirinya kalau yang di hadapannya ini benar-benarlah Flo.


Hujan deras. Malam yang gelap. Ketika ia berbalik, seseorang berdiri di belakangnya. Ia tidak dapat melihat wajah orang itu, bagaimana rupanya ia tidak tahu, walau jarak mereka sangat dekat-berhadapan. Orang itu mengucapkan kata-kata panjang dan bercerocos, namun ia tidak dapat mendengarnya. Kata-kata yang berhasil ia tangkap adalah ‘penculikan’ dan ‘bunuh’. Entah apa maksudnya. Kemudian, ia merasakan ada sesuatu yang memasuki tubuhnya, begitu dingin dan tajam-menyakitkan.
Flo tiba-tiba terbangun dari mimpi buruknya. Keringat mengalir dari pelipisnya, membasahi wajahnya. Tiba-tiba ia merasa begitu panas. Ia melihat weker kecil yang terletak di atas meja, tidak begitu jauh dari tempat tidurnya. Jam sembilan pagi.
Ia bangkit berdiri dan bersiap mandi. Sudah tiga hari ia tinggal di rumah Kemal, pemuda tampan yang berbaik hati membiarkannya menginap di sini. Ia tiba-tiba terbangun dari kegelapan, tidak ingat atau tidak tahu apa-apa. Ia tidak tahu siapa identitasnya-kecuali namanya, ia tidak tahu siapa keluarganya dan dimana rumahnya. Untunglah ada Kemal, pemuda itu. Ternyata benar, pemuda itu adalah pemuda yang sangat baik dan tidak macam-macam terhadapnya. Bahkan, Kemal memberikannya beberapa helai baju dan pakaian dalam, entah darimana pemuda itu mendapatkannya.
Ketika Flo keluar dari kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya, ia mendapati sesuatu di atas meja riasnya. Alat perekam suara. Aneh. Ia yakin sekali benda itu tadi tidak ada di atas mejanya, atau ada yang meletakkannya di sana? Tapi kamarnya terkunci dari dalam, menandakan kalau tidak ada siapa-siapa yang memasuki kamarnya dan menaruh alat perekam suara itu di atas mejanya.
Ia berjalan mendekat, mengambil alat perekam suara itu. Ditekannya tombol on, lalu play. Anehnya, hanya suara grasak-grusuk yang ia dengar. Tidak jelas. Ia mematikan benda itu dan meletakkannya kembali.
Di luar kamar, di ruang makan, Kemal dan Agung tengah duduk dan berbincang serius.
”Lo harus cari tahu apa penyebabnya dia kembali, Kem. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan ke elo, itu misinya. Itu penyebabnya dia kembali.” Agung mengusap wajahnya.
”Tapi, dia nggak tau apa-apa, Gung! Dia nggak bisa ingat satu hal pun, gimana gue bisa tau apa yang dia coba untuk kasih tau gue?”
”Kemal, masalah penculikan elo satu tahun yang lalu itu belum selesai. Kembalinya Flo, itu adalah jawaban atas pertanyaan lo selama ini.” Agung berkata serius.
”Gung, denger gue! Flo adalah dalang penculikan itu, dialah orang yang berada di belakang penculikan itu! Flo, pacar gue sendiri!”
Terdengar suara langkah kaki mendekati ruang makan, membuat Kemal dan Agung menghentikan pembicaraan mereka.
”Gue pergi dulu,” Agung bangkit dari kursi dan melangkah keluar rumah.
Flo, yang berdiri di dekat rak kaca, memandangi Kemal dan Agung. Cowok bernama Agung itu berjalan ke arahnya, tampak sedang buru-buru. Flo menyunggingkan senyum ke arahnya, namun Agung malah mengabaikannya. Cowok itu lewat begitu saja, membuat Flo bingung. Ia sudah tersenyum, mengapa cowok ini malah cuek dan mengabaikannya? Flo melihat Agung berhenti sebentar setelah berjalan beberapa langkah darinya. Cowok itu menengok ke belakang, ke arahnya, namun tidak melihatnya. Ia bergidik sambil memegangi leher bagian belakangnya, lalu kembali lagi berjalan pergi.
Flo heran. Apa salahnya sehingga cowok itu tidak mau membalas senyumannya? Ia bingung, tapi tetap berjalan ke arah Kemal. Ia melihat Kemal tengah mengamati kamera polaroid berwarna cokelat yang sepertinya baru ia beli.
”Kamera baru, ya? Bagus. Warnanya cokelat.” Flo tersenyum dan duduk di seberang Kemal.
Kemal tersentak, namun ia memaksakan seulas senyum. Ia mengangguk, mengiyakan Flo. Tiba-tiba, matanya menatap seuntai kalung berbandul bunga matahari yang mengalungi leher jenjang Flo.
”Ka....kalung itu...” Kemal terbata-bata.
Flo terperangah, mengikuti arah pandang Kemal. Kemudian ia menggenggam bandul kalung itu dan tersenyum, ”Ah. Kalung ini. Aku suka sekali melihatnya. Begitu aku terbangun, aku sudah memakai kalung ini. Tidak tahu siapa yang memberikannya, atau apakah aku membelinya sendiri? Entahlah.”
Kemal tercengang. Matanya terus menatap kalung itu. Ia tahu jawaban apa yang harus menjawab pertanyaan Flo barusan, namun ia memilih diam.
”Kamera apa itu? Lucu sekali bentuknya.” Flo memandangi kamera polaroid yang berada di genggaman Kemal.
Kemal tertawa sumbang.
”Bolehkah aku mencobanya?” tanya Flo tiba-tiba.
”Aah...apa?” Kemal terkejut.
”Bolehkah kamu mengambil fotoku? Aku ingin sekali difoto.” Pinta Flo, membuat Kemal terpekur.
”Ayolah.” Rengek Flo. Ia berlari ke halaman belakang, meminta Kemal untuk mengambil foto dirinya.
Kemal dengan langkah gontai, dan yang sangat berat, mengikuti Flo ke halaman belakang. Ia melihat Flo telah berpose begitu manis, begitu cantik. Hati Kemal nyeri seketika, melihat gadis secantik Flo yang kini berdiri di hadapannya. Gadis yang selalu mengisi hari-harinya di masa lalu, gadis yang pernah menempati tempat di hatinya-sampai sekarang.
Kemal membuyarkan lamunannya sendiri, dan siap-siap menjepret kamera untuk mengambil foto Flo. Sampai tiga kali Flo bergaya, ia baru puas.
”Bolehkah aku melihatnya?” tanya Flo. Ia berlari kecil menghampiri Kemal.
Kemal langsung menggeleng cepat. Ia segera mematikan kamera itu.
”Ah, maaf. Kameranya tiba-tiba mati.” Kemal melihat gurat wajah Flo yang kecewa, ”Aku akan memberikannya padamu nanti.”
Flo mengangguk pelan.
”Ehm...apakah kamu lapar? Bagaimana kalau kita pergi makan ke restoran Jepang?” tawar Kemal.
”Kamu ingin memesan apa? Biar aku yang memesankannya untukmu.” Ujar Kemal. Ia menatap Flo yang duduk di hadapannya, sedang memilih menu yang ia suka.
”Aku ingin....lettuce wraps saja.” Jawab Flo.
Kemal mengangguk mengerti, lalu memanggil seorang pelayan untuk mengambil pesanan mereka.
”Satu sashimi, satu lettuce wraps, Mbak. Minumnya...dua ocha dingin.” Kata Kemal.
Pelayan restoran itu mengernyitkan dahinya bingung, namun tetap mencatat pesanan Kemal. ”Total pesanan makanannya...dua, Mas?”
Kemal mengangguk yakin. Melihat Kemal yakin, pelayan restoran itu langsung melesat pergi.
Tak lama kemudian, makanan mereka datang. Flo yang sudah merasa lapar tak sabar ingin cepat-cepat melahap makanannya. Namun, pelayan restoran yang meletakkan gelas ocha dingin itu tidak sengaja menumpahkan airnya ke atas meja, membuat Flo dan Kemal sama-sama kaget.
”Ah, maaf....mas...” Pelayan restoran itu mengambil lap meja yang memang ia bawa, lalu mengelap meja itu. Ia mendorong aliran air itu ke arah kiri, ke arah tempat duduk Flo.
Flo, yang bajunya basah karena tertumpah air akibat perbuatan pelayan restoran itu, bangkit berdiri dan menatap pelayan itu kesal.
”Eh! Mbak....liat-liat, dong! Saya kan duduk di sini! Gimana, sih!?” maki Flo.
”Eh, Mbak....nggak apa, nanti saya bersihin sendiri. Saya tambah minumannya satu lagi, aja, ya....” Kemal menengahi.
Pelayan restoran itu mengangguk, lalu berlalu pergi.
”Aduh, bajuku basah, deh....” rutuk Flo. Bisa-bisanya pelayan itu tidak melihat dirinya! Jelas-jelas ia sudah duduk di sana, dasar ceroboh!
”Maaf, Flo. Kita makan saja, langsung pulang sehabis itu.” Saran Kemal. Hatinya berdebar, tidak menyangka akan ada kejadian seperti ini apabila ia mengajak Flo keluar ke tempat umum.

Sesampainya di rumah Kemal, ada seorang tamu cewek yang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan dandanannya bagaikan model. Ada seorang tamu lagi, seorang cowok yang tampaknya hanya lebih tua satu atau dua tahun dibandingkan Kemal.
”Itu siapa, Kem?” tanya Flo pada Kemal, berbisik.
”Eh....” Kemal tampak canggung dan bingung menjawabnya, ”yang cewek itu pacarku. Yang cowok, kakak tiriku. Kamu masuk kamar saja, biar aku melayani mereka sebentar.”
Flo mengangguk dan segera memasuki kamar. Ketika ia melewati dua tamu itu, ia menyunggingkan senyum pada mereka. Anehnya, mereka tidak memedulikan kehadirannya. Mereka malah tidak melihatnya, mereka tampaknya serius sekali. Karena tidak peduli, Flo masuk ke dalam kamar.
”Hai, sayang.” Vania segera mendekati Kemal dan mencium pipinya. ”Kamu kemana, tadi? Untung aku megang kunci rumah kamu, jadi bisa langsung masuk.”
”Aku habis cari makan di luar.” Jawab Kemal. Ia memandang Joan, kakak tirinya. ”Kok bisa sama Joan?”
”Eh....” Vania menatap Joan bingung.
”Tadi ketemu di jalan, aku ajak bareng aja pas tahu Vania mau ke rumah kamu, Kem.” Jawab Joan cepat.
Kemal mengangguk dan duduk di sofa.
”Kem, apa kamu baik-baik saja?” tanya Vania, menyadari wajah Kemal yang pucat.
”Aku....hanya sedang memikirkan tentang penculikan diriku tahun lalu.” Kemal mengusap wajahnya, ”Aku tidak dapat melupakannya.”
”Kem....” Vania tampak sangat terkejut mendengarnya, apalagi Joan. Wajah cowok itu langsung pucat mendengar penuturan Kemal.
”Sudahlah. Nyatanya, pacar kamu sendiri kan yang mendalanginya? Siapa namanya? Ah, aku lupa.” Seru Joan.
”Yang penting sekarang, dia kan sudah menghilang. Tidak usah kamu pikirkan lagi, Kem.” Vania melirik Joan, melempar pandangan penuh arti.
Di dalam kamar, Flo dikagetkan ketika ia baru saja melangkah masuk ke dalam kamarnya. Bagaimana ia tidak kaget, ketika ia melihat ada sebuah pisau tajam yang tidak terlalu besar, terletak di atas meja bacanya? Flo dengan takut mendekati pisau itu dan mengambilnya. Tangannya menyentuh bagian tajam pisau itu, dan tiba-tiba seperti ada sebuah memori yang melintas dengan sangat cepat di otaknya.
Ada seorang gadis, memakai baju terusan bermotif bunga, tapi tidak tahu baju itu berwarna apa. Wajahnya tidak kelihatan, buram. Saat itu hujan, malam yang gelap. Ada seorang cowok berdiri di depan cewek itu, memegang pisau ini.
Lalu, bayangan itu hilang, tidak lagi dapat ia ingat.
Siapa gadis malang itu? Entahlah.
Flo mengamati pisau tajam itu, dan tangannya membuka laci meja bacanya. Alat perekam suara yang dengan misterius terletak di atas mejanya ini masih tersimpan di sana. Ia meletakkan pisau tajam itu di sebelah alat perekam suara tersebut.
Mengapa tiba-tiba secara serentak muncul benda-benda misterius di depannya? Siapa yang menaruhnya? Apa maksudnya?
 Flo terbangun di pagi hari ketika ia mendengar suara pintu rumah diketuk, disusul dengan bunyi bel. Ia mengernyitkan dahinya, kemana Kemal? Mengapa cowok itu tidak membukakan pintu?
Karena mengira Kemal sedang pergi, Flo cepat-cepat menyibakkan selimutnya dan melangkah keluar dari kamar. Ia berlari kecil ke arah pintu utama rumah itu, dan ketika ia membukanya, muncul seorang wanita tua berbadan pendek dan agak gemuk di hadapannya.
Flo menyunggingkan senyum ramahnya, ”Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Ia bertanya.
Namun, ibu itu malah memandang pintu di sebelah Flo, yang baru saja ia buka, dengan ketakutan. Ibu itu bergemetar, wajahnya berubah pucat.
”Ada yang bisa....saya...bantu, Bu?” tanya Flo lagi, kali ini dengan bingung. Mengapa ibu ini tampak seperti sehabis melihat hantu?
Ibu itu bergidik ngeri, memegangi leher bagian belakangnya, lalu cepat-cepat pergi dengan wajah pucat pasi.
”Kenapa, sih, ibu itu?” tanya Flo gusar. Ia menutup pintu utama dan kembali masuk ke dalam kamar untuk mandi.
Ia sudah cukup lelah diabaikan dan diperlakukan dengan cuek. Kalau senyum, nggak dilihat. Bertanya ramah, nggak ditanggapi. Memangnya ia angin?
Ketika Flo masuk ke dalam kamar, ia melihat sesuatu menarik perhatiannya dari kolong tempat tidur. Flo menunduk, berusaha mengambil benda itu. Ternyata, benda itu adalah kotak besi yang tampaknya bekas kotak kue. Ia membuka kotak itu, walau agak susah. Kotak itu berbentuk persegi panjang dan agak besar. Walau sudah susah payah ia mencoba untuk membukanya, ia tidak bisa. Kotak ini tidak mau terbuka, sangat keras.
Flo berdiri kesal. Ia memandang kotak yang kini berada di genggaman tangannya. Kotak ini secara misterius muncul lagi, di kolong tempat tidurnya. Padahal ia yakin sekali, ketika ia membersihkan kamarnya kemarin, tidak ada benda ini!
Tiba-tiba, terdengar lagi suara bel. Flo berdecak, meletakkan kotak itu di atas tempat tidurnya, lalu cepat-cepat membukakan pintu.
Anehnya, tidak ada orang ketika ia membukakan pintu depan. Flo bingung, namun bulu kuduknya tidak merinding. Ia hendak menutup pintu, namun ia mengurungkan niatnya ketika ia melihat ada seorang anak kecil berdiri di tengah jalan. Anak lelaki kecil itu berumur sekitar lima tahunan, berdiri di tengah jalan besar yang bisa saja ada mobil atau motor menabraknya.
Flo segera berlari, membuka pagar, dan menghampiri anak itu. Kemana ibu anak ini? Bisa-bisanya membiarkan anak kecil seperti ini berdiri di tengah jalan. Kalau ada bahaya bagaimana?
Ia melihat ada motor melaju dengan kecepatan tinggi, menuju ke arah anak kecil itu. Flo cepat-cepat menarik tubuh anak cowok itu, merangkulnya, dan membawanya menjauh dari motor.
Motor dengan cepat melaju melewatinya, membuat Flo kesal. Dipandanginya orang yang mengendarai motor itu. Apakah ia tidak ada rasa malu mengendarai motor dengan cepat dan hampir menabrak anak kecil? Tidakkah merasa bersalah?
Flo melupakan kegusarannya, karena yang terpenting ia dan anak kecil itu selamat. Namun, anehnya, ketika ia menunduk dan melihat rangkulannya, ia tidak melihat anak kecil itu di dalam rangkulannya. Padahal, ia yakin sekali ia telah memeluk anak kecil itu. Ia mengedarkan pandangannya, menebak kalau anak itu telah berlari. Namun tidak ada siapa-siapa di sekelilingnya, tidak ada tanda anak kecil itu ada.
”Ada kejadian aneh hari ini.” Flo berkata pada Kemal saat mereka berdua tengah menyantap makan malam di meja makan. ”Aku melihat anak kecil hampir tertabrak, aku menyelamatkannya....tapi saat aku lihat dan tersadar lagi, anak kecil itu tidak ada.”
Kemal tanpa sadar menjatuhkan sendok yang tadi berada di genggamannya. Bunyinya berdentang, mengangetkan Flo.
”A...anak kecil?” Kemal terbata-bata.
Flo mengangguk dan meneguk minumannya, ”Iya. Aneh kan? Aku sendiri sampai seram melihatnya.”
Kemal menelan ludahnya, ”Flo....kamu yakin? Kamu nggak salah lihat?”
”Aku yakin, Kemal! Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri! Anak itu lelaki kecil, berumur sekitar lima tahunan....” Flo mengusap wajahnya.
”Flo,” panggil Kemal, membuat Flo menatapnya. ”Ibu Lusiana, tetangga sebelah, baru saja kehilangan anak lelakinya yang berumur lima tahun. Anaknya meninggal, tertabrak motor di gang depan.”
Kemal sedang pergi hari ini, entah kemana. Cowok itu tidak bilang pada Flo. Mungkin perginya hanya sebentar, dan akan kembali secepat mungkin. Flo yang baru bangun dan sudah mandi, memutuskan untuk bersih-bersih rumah. Kemal telah berbaik hati membiarkannya tinggal sementara di rumah ini, padahal ia tahu benar Kemal sudah punya pacar. Vania namanya, gadis yang cantik. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk membersihkan rumah ini dan membantu Kemal membersihkan dan memberesi rumahnya.
Saat Flo sedang merapikan majalah-majalah yang berserakan di atas meja di ruang tamu, ia menemukan sebuah amplop cokelat yang agak panjang. Dengan bingung, ia mengambil amplop itu dan membukanya.
Walau agak susah dibuka karena lemnya yang sangat tebal, pada akhirnya Flo dapat juga membuka amplop cokelat itu.
Ternyata, isinya adalah sebuah foto.
Alangkah terkejutnya Flo ketika ia melihat foto-foto itu. Foto-foto itu adalah foto penculikan. Terlihat di berbagai foto, sosok Kemal yang sedang duduk terikat di sebuah kursi. Mulutnya dilakban, tangan dan kakinya diikat, tubuhnya terikat pada sebuah kursi. Terdapat goresan luka di beberapa bagian wajahnya. Lalu, ada foto lain lagi yang membuat Flo terkejut. Ada foto Vania, pacar Kemal, sedang berdiri di belakang Kemal yang tak sadarkan diri. Di sebelahnya, berdiri Joan, kakak tiri Kemal. Mereka berdua memandangi Kemal sambil tertawa, senyuman sinis.
Tubuh Flo lemas. Apa arti foto-foto ini? Semua foto ini diambil secara candid, dari kejauhan. Tampaknya yang difoto tidak sadar kalau dirinya tengah difoto.
Flo melesat memasuki kamar Kemal, mencari telepon untuk menghubunginya. Apakah cowok itu baik-baik saja? Apakah cowok itu telah tahu foto ini?
Ia telah memasuki kamar Kemal, yang sebenarnya baru pertama kali ia masuki. Ia membuka laci dan lemarinya, berusaha menemukan sesuatu yang dapat menelepon Kemal. Siapa tahu, Kemal memiliki telepon cadangan, kan? Karena di ruang tamu tidak ada telepon.
Namun, ada sesuatu yang membuat Flo menghentikan aksinya mencari telepon. Sebuah kotak kardus bertuliskan Flo&Me’s. Apa isinya? Flo...dirinyakah?
Flo mengambil kotak kardus itu dan membukanya. Isinya adalah CD rekaman. Flo mengambil satu keping dan memasangnya di DVD Player. Rasa khawatirnya akan Kemal tertunda dan tergantikan oleh rasa penasarannya.
Di layar TV, dapat dengan jelas Flo lihat apa isi rekaman itu.
”Kemal.....lihat, deh! Aku bawa hadiah untuk ulang tahun kamu!”
Flo mendengar suaranya. Namun, ia tidak dapat melihat dirinya sendiri. Tampaknya, ialah yang memegang handy cam untuk merekam. Tampak di layar TV Kemal yang sedang duduk di taman. Ia tersenyum melihat kedatangan Flo. Flo kaget sekali ketika ia melihat dirinya mencium pipi Kemal, dan Kemal memeluknya erat. Hati Flo bergetar. Apa hubungan antara dirinya dan Kemal dulu? Mengapa tampak begitu mesra?
”Apa hadiahnya, Sayang?”
Di rekaman itu, Flo memberikan jaket merah-putih dengan huruf K di sisi kiri bagian depannya. Kemal tampak begitu senang ketika Flo memakaikan jaket itu kepadanya. Kemal mengecup dahi Flo penuh sayang.
Tanpa sadar, Flo yang menontonnya meneteskan air mata. Ia tidak tahu dengan pasti kapan ia menangis, kapan air mata membasahi pipinya dengan deras.
”Aku juga punya sesuatu untuk kamu, Flo.”
Kemal memberikan sebuah kotak berwarna hitam untuk Flo. Flo dengan gembira dan rasa penasaran membuka kotak itu. Ia menganga lebar ketika melihat apa isi kotak itu.
”Kemal.....ah! Bagus banget kalungnya....kok kamu tahu aku suka sekali sama bunga matahari?”
”Tahu, dong. Kamu kan pacar aku yang paling istimewa!”
Flo tersentak. Pacar? Ia adalah pacar Kemal? Mengapa ia tidak dapat mengingat apa pun? Dan.....kalung itu! Flo terperanjat. Ia meraba kalung yang sedang ia pakai, dan meremas bandulnya. Perlahan ditatapnya kalung yang sedang ia pakai.
Kalung di rekaman itu, pemberian Kemal, adalah kalung yang sedang ia pakai saat ini.
Flo bangkit berdiri. Ia menatap layar TV yang menunjukkan rekaman mesra dan bahagia dirinya dan Kemal, tertawa sambil sesekali saling menggelitiki. Begitu mesra, dan bahagia.
Ia berderai air mata. Jadi...selama ini....ia adalah pacar Kemal? Mengapa ia tidak dapat mengingatnya? Mengapa kini pacar Kemal adalah Vania? Apa yang terjadi? Apa yang sebenarnya tidak ia tahu!?
Saat Flo terus melangkah mundur, ia tidak sadar kalau ada meja kecil di belakangnya. Flo tanpa sadar menabraknya, karena tubuhnya sempoyongan. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat foto-foto berserakan di lantai, terjatuh dari atas meja yang tersenggol olehnya.
Flo menunduk dan mengambil foto itu. Ia mengernyit bingung ketika melihatnya, namun sedetik kemudian, ia terpekik histeris. Tanpa sadar, ia menjatuhkan foto-foto itu.
Flo menangis keras. Ada sesuatu di dalam hatinya yang begitu sesak. Ia terpekik keras, ia menghentakkan kakinya, berusaha sekuat mungkin untuk tidak mempercayai semua ini.
Foto-foto itu adalah foto yang diambil Kemal kemarin, dengan kamera barunya, saat Flo meminta cowok itu untuk mengambil fotonya.
Yang membuat ia histeris, tidak ada objek yang difoto. Hanya ayunan dan taman hijau yang kosong, tidak ada orangnya. Sedangkan Flo yakin sekali, kemarin ia foto di halaman belakang yang rumputnya hijau, dengan latar belakang ayunan berwarna putih!
Mengapa tidak ada fotonya di sana?
Flo berlari, hendak keluar dari kamar. Namun, ketika tangannya menyentuh gagang pintu hendak membukanya, ia mendengar namanya disebut-sebut. Suara itu.....suara Kemal.
”Agung! Gue nggak bisa lagi menahan semua ini....” kata Kemal, agak keras.
Agung, teman Kemal yang mengabaikan senyumannya tempo hari, mengangkat suara. ”Lo harus bantu Flo mengingat apa alasannya kembali datang ke dunia kita, Kem. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada lo.”
”Tapi dia nggak inget, Gung! Mau sampai kapan? Dia bahkan nggak sadar kalau dia udah meninggal! Dia tetap melakukan hal-hal yang selalu ia lakukan selama ia hidup!”
”Itu karena dia nggak sadar kalau dia udah meninggal, memang benar. Dia masih merasa dia hidup, tapi sebenarnya dia adalah hantu. Dia sudah meninggal. Hanya elo yang bisa lihat dia, Kem. Karena lo adalah alasannya kembali ke dunia kita. Dan hanya elo, yang bisa membantu dia untuk bisa pergi dengan tenang.”
Flo tersungkur jatuh ke atas lantai. Ia tidak dapat mempercayai ini semua. Ia sudah meninggal? Ia kembali ke dunia manusia?
Flo menangis, berderai air mata. Ia mendengar langkah kaki menjauh, dan cepat-cepat ia keluar dari kamar Kemal menuju kamarnya.
Di dalam kamarnya, ia mengeluarkan barang-barang yang secara misterius muncul di depannya. Ia mengurutkannya.
Alat perekam suara. Pisau tajam. Kotak besi panjang. Amplop cokelat. Ia menyentuh alat yang pertama sampai yang terakhir dengan tangannya, berusaha untuk menghubungkan itu semua.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang membuatnya terpental jauh ke belakang. Ia terlentang di atas lantai, dan tubuhnya terasa begitu lemas. Kemudian, seperti ada sesuatu yang menariknya ke belakang, dan pandangannya langsung gelap.
”Kemal, kamu baik-baik aja kan?” Flo berdiri di depan rumah Kemal, di terasnya. Ia mengenakan baju terusan berwarna cokelat, bermotif bunga.
”Aku tidak mau lagi bertemu denganmu, Flo. Kita putus saja,” Kemal berkata dingin.
”Tapi....mengapa, Kem? Semenjak penculikan itu, kamu selalu menghindariku. Tidak menjawab teleponku, membalas smsku. Ada apa? Aku memiliki sesuatu, yang sangat penting, yang harus aku katakan. Ini menyangkut penculikanmu. Aku tahu siapa dalangnya!”
Kemal mencengkram lengan Flo, begitu keras. Tatapannya sangat marah, ”Jangan sekali-sekali kamu ikut campur lagi ke dalam hidup aku! Kamu kan dalangnya? Kamu yang merencanakan penculikanku, kamu yang selama ini memeras aku, meneror aku!”
Flo menutup mulutnya yang ternganga lebar, tidak percaya dengan tuduhan Kemal atas dirinya.
”Kamu pacaran sama aku, hanya untuk melancarkan niat busuk kamu kan? Kamu berhasil, Flo. Kamu berhasil membuat aku jatuh cinta pada kamu! Kamu berhasil menculik aku, kamu berhasil memeras dan meneror aku selama ini!”
”Astaga....Kemal! Dengarkan aku dulu! Selama ini kamu salah!”
”Aku yang salah, sudah memercayai dan jatuh cinta padamu, Flo! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi. Kita putus dan berakhir sampai di sini! Cari target lain yang bisa kamu gunakan untuk mencari uang, jangan aku! Karena aku sudah muak!” Kemal berteriak marah.
Ia menutup pintu rumahnya kasar, tepat di depan wajah Flo.
Flo, yang putus asa, berjalan pergi dari rumah Kemal. Ia tahu tidak ada gunanya lagi ia menjelaskan pada Kemal. Saat itu turun hujan cukup deras, apalagi waktu sudah malam. Tapi, Flo tidak peduli. Ia terus berjalan, hingga cukup jauh, memikirkan cara bagaimana agar ia bisa menjelaskan kepada Kemal kalau bukan dirinya yang menculik cowok itu. Ia sudah tahu pelakunya.
Kemal lima hari yang lalu diculik. Ia didekam di gudang tersembunyi selama tiga hari, dan baru dua hari yang lalu ia dibebaskan. Flo diam-diam, memberanikan dirinya, menyelidiki di mana Kemal diculik. Ia berhasil mengetahui pelakunya. Vania dan Joan. Vania adalah pacar Joan, sedangkan Joan adalah kakak tiri Kemal. Mereka berdua bersekongkol menculik Kemal, untuk harta. Ayah Kemal baru saja meninggal, dan harta warisannya sepenuhnya jatuh untuk Kemal. Karena iri, Joan ingin membunuh Kemal, agar harta itu bisa jatuh ke tangannya. Tapi, ia tidak berhasil. Walau sudah ada teror, pemerasan, bahkan penculikan yang dilakukannya berdua dengan pacarnya. Saat itu, Flo buru-buru menelepon polisi. Kedatangan polisi yang tiba-tiba membuat mereka berdua kabur dan melarikan diri. Sekarang, Flo sedang bersusah payah untuk memberitahu Kemal siapa dalang sebenarnya.
Tiba-tiba, di sebuah pos satpam di dekat rumah Kemal, ia melihat ada mobil BMW hitam yang dimiliki oleh Joan. Ia melihat Joan dan Vania di dalam mobil itu.
Flo ingin berlari, namun Joan terlebih dahulu menariknya. Saat itu sepi, Flo tidak dapat meminta tolong pada siapa-siapa.
”Aku akan memberitahu Kemal siapa dalang penculikan itu sebenarnya! Aku memiliki bukti yang kuat!” teriak Flo, di tengah hujan yang deras.
”Maka, kita di sini untuk mencegahmu mengatakan yang sebenarnya pada Kemal!” teriak Joan.
Flo terpelanting ke bawah, tersungkur ke atas tanah cokelat yang basah karena air hujan.
”Aku akan memusnahkanmu, Flo. Karena kamu adalah penghalang dari rencanaku.” Bisik Joan.
Ia mengeluarkan pisau tajam, lalu tanpa berkata-kata lagi menusukkan benda itu ke perut Flo.
Flo berteriak, mengerang kesakitan, meminta tolong, namun ia tidak dapat melakukannya. Sakit yang ia alami sangatlah membuatnya ingin saja mati. Ia masih dapat melihat Joan dan Vania yang tersenyum sinis ke arahnya. Ia masih bisa mengingat wajah Kemal dan kenangan-kenangan indah yang mereka miliki. Namun, setelah itu, pandangannya gelap seketika.
Ia meninggal di tempat.
Flo menangis keras ketika ia berhasil mengingatnya. Kini, ingatannya sudah kembali secara keseluruhan. Ia bangkit berdiri, kini benar-benar yakin kalau ia sudah meninggal. Ia dikirim kembali ke dunia manusia karena ia tidak bisa pergi dengan tenang. Ia hendak menyampaikan sesuatu pada Kemal, tapi ia tidak ingat apa itu. Munculnya benda-benda dan tanda-tanda aneh menjadi isyarat baginya. Dan kini, ia berhasil mengingat semua itu.
Alat perekam suara yang tidak bisa ia mainkan suaranya, adalah alat perekam suara yang berhasil merekam suara Vania dan Joan yang menculik Kemal.
Pisau tajam itu adalah pisau yang dipakai Joan untuk membunuhnya.
Kotak itu....ia ingat. Ia memberikannya untuk Kemal, di hari jadi mereka yang kelima. Ya, mereka berpacaran selama lima tahun.
Amplop cokelat itu berisi foto-foto yang berhasil ia potret sewaktu mengintai Joan dan Vania, yang sedang menculik Kemal.
Dan tanda-tanda bahwa dirinya memang sudah meninggal....Flo kembali berusaha untuk mengingat-ingat.
Mimpi yang mendatanginya waktu itu. Dirinya adalah gadis di dalam mimpi tersebut, dan cowok di hadapannya....Joan! Ternyata mimpi itu adalah nyata, kejadian di masa lalu!
Itulah sebabnya, mengapa ia terbangun di sebuah pos satpam, di tengah malam yang dilanda hujan lebat. Karena, ia meninggal di tempat itu dan dalam waktu dan keadaan yang sama!
Itulah sebabnya, mengapa ia datang ke rumah Kemal sambil mengenakan baju terusan coklat bermotif bunga, dengan kaki penuh air kotor bekas tanah yang tercampur air hujan, karena dua hal itu adalah dua hal yang sama saat ia meninggal.
Itulah mengapa Agung tidak memedulikan senyumannya, malah langsung lewat begitu saja, lalu bergidik ngeri dan merinding. Karena Agung berjalan melewati dirinya yang sudah meninggal!
Itulah sebabnya Kemal begitu tampak tidak ingin mengambil foto dirinya, lalu menghindari dirinya melihat foto-foto hasil jepretannya. Karena Kemal tahu dirinya sudah meninggal! Karena, di foto itu tidak ada dirinya, ia kan hantu!
Sekarang ia mengerti mengapa saat makan di restoran, pelayan itu begitu bingung mendengar Kemal memesan dua makanan. Ia juga mengerti mengapa pelayan tersebut menuang air ke arahnya, karena pelayan itu tidak melihat dirinya ada! Dirinya invisible!
Lalu saat Vania dan Joan berkunjung ke rumah Kemal, dan ia lewat. Mereka tidak peduli, karena mereka tidak melihat dirinya.
Kemudian ibu gemuk yang mendatangi rumah Kemal. Ia pasti takut melihat pintu terbuka sendiri, padahal Flo yang membukakannya. Ia lalu merinding dan bergidik takut, karena kehadiran Flo yang sudah meninggal di dekatnya.
Itu juga sebabnya mengapa ia bisa melihat hantu anak kecil yang sudah meninggal itu, karena ia juga sudah meninggal! Orang yang mengendarai motor itu tentu tidak sadar kalau dirinya hampir menabrak orang, karena Flo dan anak kecil itu telah sama-sama meninggal!
Flo kini mengerti, namun ia telah siap. Ia tidak lagi histeris, berteriak tidak percaya, walau air mata masih membasahi wajahnya. Ia mengerti sekarang, mengapa di kamarnya tidak ada kaca. Itu karena, Kemal sudah tahu tentang akan datangnya dirinya, dan menyingkirkan semua kaca di rumah ini. Karena, saat Flo berkaca, pantulannya tidak akan ada. Ia adalah hantu. Ia tak terlihat. Ia telah meninggal.
Flo mengerti sekarang mengapa ia kembali ke dunia manusia. Karena ia ingin menyampaikan sesuatu pada Kemal. Ia tidak bisa tenang jalan ke tahap kehidupan selanjutnya, karena ia memiliki urusan yang belum selesai di dunia. Arwahnya tidak bisa tenang, karena dirinya dijadikan alasan Joan dan Vania sebagai dalang penculikan Kemal. Oleh karena itu, ia diberi kesempatan sekali lagi untuk menghuni dunia manusia selama sementara, agar ia bisa memberitahu Kemal yang sesungguhnya.
Kemal sudah tahu kalau dirinya meninggal. Kemal sudah tahu dirinya akan datang. Kemal juga tahu kalau ia  kembali karena ia ingin menyampaikan sesuatu kepada cowok itu.
Ia kini mengerti mengapa Kemal tampak begitu terkejut melihat kalung yang ia gunakan, karena kalung itu adalah kalung pemberiannya.
Kini, ia hanya harus menyelesaikan urusannya. Ia harus mengatakan semuanya pada Kemal.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Kemal berdiri di ambang pintu, memandangnya.
Flo menitikkan air matanya, sambil tersenyum. Ia menatap penampilannya sendiri. Kini, karena ia sudah mengingat semuanya lagi, ia kembali mengenakan baju terusan berwarna cokelat bermotif bunga.
”Flo....” Kemal tahu Flo telah mengingat dan menyadari kalau ia sudah meninggal.
”Kemal, aku sudah meninggal. Sudah waktunya bagiku untuk pergi lagi.” Flo menangis, namun ia tersenyum. ”Aku mencintaimu, Kemal. Sangat mencintaimu.”
Kemal berjalan mendekat. Matanya berkaca-kaca, air mata menitik dari pelupuknya.
”Aku kembali karena sebuah alasan, Kemal. Aku harus memberitahumu sesuatu, agar aku bisa berjalan ke alam lain dengan tenang.”
”Apa yang ingin kamu katakan, Flo?” tanya Kemal.
”Waktuku tinggal sebentar, Kemal.” Flo menangis lagi, kali ini terisak. ”Kamu bisa melihatnya nanti. Aku sudah menatanya di meja.”
Kemal melirik barang-barang yang sudah diurutkan Flo di atas meja.
”Kemal, ada yang harus kamu tahu. Malam itu, dimana aku dibunuh, aku berusaha untuk mengatakan padamu bahwa aku bukanlah dalang dari penculikanmu, pemerasan, atau teror yang mendatangimu. Aku dibunuh malam itu, oleh Joan, Kemal. Itu yang harus kamu tahu.”
Kemal terperanjat. Ia tampak tidak percaya.
”Kamu bisa menanyakan hal itu nanti, kamu bisa membuktikannya.” Flo menangis lagi, ”Aku mencintaimu, Kemal. Sangat. Aku tidak mungkin tega menculik, bahkan melukaimu.” Flo mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Kemal dengan lembut.
”Flo....maafkan aku...” Kemal terbata-bata.
”Aku hanya ingin kamu percaya padaku, Kemal. Sakit sekali rasanya ketika kamu menyangka akulah dalang dari semua yang menimpamu. Ketahuilah, bahwa aku sangat sayang dan cinta sama kamu, mana mungkin aku melukaimu?” Flo terisak. ”Aku harus pergi, Kemal. Aku sangat berharap aku bisa hidup lebih lama lagi, bersamamu. Tapi aku tidak bisa, Tuhan telah berkehendak lain.”
Kemal meraih tangan Flo di pipinya, lalu menggenggamnya erat.
”Aku akan menunggumu di sana, Kemal. Kita akan bersama-sama lagi, sebentar lagi. Dunia ini....adalah tempat kita sementara. Kita akan hidup kekal di sana, nanti.” Flo berjalan mundur.
”Flo....”
”Maafkan aku, Kemal. Ketahuilah, aku akan selalu melindungimu dari atas sana.”
Setelah mengucapkan kata-kata terakhir itu, Flo merasa ada sesuatu yang menariknya menjauh dari Kemal. Flo memejamkan matanya, dan merasakan air mata terakhir menetes dan membasahi pipinya. Ia tidak sempat memeluk Kemal, karena Kemal yang hidup tidak dapat lagi menyentuhnya yang sudah meninggal. Memori dirinya dengan Kemal yang indah terputar, saat tubuhnya melayang ke atas.
Saat Kemal pertama kali menyatakan cinta padanya.
Saat Kemal menciumnya pertama kali.
Saat ia dan Kemal tertawa bersama, menjalani semuanya bersama dengan tawa bahagia.
Semua itu tidak dapat ia ulang kembali.
Flo tersenyum lega. Ia telah menjalankan misinya, alasannya kembali ke dunia. Selama ini ia menjadi yang tak terlihat, karena ia ternyata sudah meninggal. Dan ia, telah menyelesaikan tugasnya. Kini ia dengan siap melangkah ke alam lain.
Ia dapat melihat Kemal sangat terkejut menyadari bahwa Joan dan Vania bersekongkol mendapatkan hartanya, menyadari kalau Vania memacarinya hanya untuk memudahkan dirinya dan Joan mendapatkan harta Kemal.
Flo membisikkan sesuatu, agar dapat didengar oleh Kemal. Dan nyatanya, memang Kemal dapat mendengarnya walau cowok itu tidak dapat melihatnya.
”Hiduplah yang bahagia, Kemal.” Ucap Flo, tersenyum.
Ia meninggal karena orang yang ia cintai. Dan ia yakin, sampai saat ini, Kemal masih mencintainya.



No comments:

Post a Comment

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com